Sabtu, 07 Juli 2018

Mengunjungi Pusat Kajian Orientalisme Di Mesir

Siapa sangka dibalik dindingnya setinggi 1,4 meter itu terdapat  sebuah yayasan orientalisme dari Prancis. Terkesan aneh menurut saya jika disebut yayasan menurut pengakuan direktur yayasannya.  jika ternyata di dalamnya adalah Gereja, perpustakaan, dan institut bergerak dalam kajian Timur Tengah atau yang biasa di sebut orientalisme. Singakatannya IDEO (Institute Dominicain d’Etudes Orientales). Letaknya saya yakin semua mahasiswa Al-azhar tau dan sering melihatnya. Tapi tidak pernah menyangka bahwa itu adalah “yayasan berkedok.”

Awal pertama kali melihatnya dari balik dinding yang beberapa ada coretan. Gambaran yang saya tangkap pasti gedungnya kecil dan tanpa taman. Tapi semua berbalik 360 derajat ketika pertama kali kaki kami menginjakkan kaki di halaman luar gedung.

Halamannya asri dan teduh. Siapapun akan rela berlama-lama duduk. Arsitektur gedungnya khas Prancis menurut saya. Sesekali lewat tukang kebun melewati kami sembari melempar senyum.

Sebelum masuk dalam gedung kami disambut diluar. Terlebih dahulu kami berkenalan dan saling bersalam-salaman. Nama lengkapnya lewat kartu nama yang disodorkan Rene Du Grandlaunay. Non-muslim dan asli Prancis sekaligus direktur yayasan. Kemudian menanyakan nama kami satu-persatu dan kuliah apa. Barulah setelah itu kami bersama-sama dipersilahkan masuk.

Awal masuk dipintu depan ada room main dengan ornament kayu besar yang biasanya kulihat di masjid-masjid daerah Atabah. Disebelah kiri kami dibalik pintu kaca ada seorang wanita paruh baya dengan kacamata minus bertengger asik dengan komputernya. Mungkin ruang pengawas pintu masuk. Kemudian ada pintu lagi didepan kami. Setelah dibuka barulah ada dua lorong. Doktor Rene memberitahukan lorong sebelah kanan adalah jalan ke Geraja sedangkan lorong sebelah kiri jalan ke perpustakaan. Kami pun mafhum karna yayasan ini adalah yayasan “berkedok” orientalis yang mengkaji Turats (warisan-warisan) Islam.

Di ruang baca sebelum masuk perpustakaan hanya satu orang saja membaca buku. Dan memang lagi sepi karena perpusakaan ini hanya buka dari hari Senin-Jumat. Dan buku-bukunya tidak boleh di pinjam keluar. Bahwa pengunjung tidak diperbolehkan melihat-lihat koleksi kitab mereka. (Privasi amat ya. hehe)

Oh, iya. Gedung ini ada dua lantai dan lumayan besar. Lantai pertama ada main room, ruang pengawas, Gereja, ruang baca, ruang binadata, perpustakaan. Lantai dua ada 16 kamar yang di tempati para pendeta yang di datangkan dari berbagai negara. Dan seingat saya ada ruang bawah tanah yang di pakai bagai ruang seminar dan rapat-rapat lainnya.

Pertama-tama kami diajak berkeliling setiap ruangan yang sangat artistik itu. Ruangannya benar-benar sangat cocok untuk kajian dan meneliti. Di tiap lorong dan tangga yang menghubungkan tiap ruangan dan lantai selalu terdapat gambar identitas Timur Tengah. Ada juga gambar peta terbalik. Maksudnya utara yang kita kenal saat ini adalah selatan dan selatan yang kita kenal dalam gambar itu adalah utara. Dan ini tidak asal-asalan di buat, karena pembuat peta pertama adalah ilmuwan muslim Al-idrisi yang membuatnya. Baru pada masa koloniaslime barat merubahnya menjadi peta yang saat ini kita kenal.

Terakhir perjumpaan kami di jelaskan sedikit mengenai katalog perpustakaan dominician. Mereka meminjam nama Al-kindi sebagai sistem operasi katalog mereka. Karena dilihat dari sejarah yang pertama kali membuat daftar isi berisi kitab-kitab adalah ilmuwan muslim Al-kindi.

Kemudian memperkenalkan juga sebuah katalog dunia yang berisi kitab-kitab dari berbagai negara jika kita tuliskan di pencarian. Lengkap dengan nama penulis, jilid, tahun terbit, cetakan, biografi dan lain-lain. Kata doktor rene kalau mau jadi pustakawan harus menghapal bagian-bagian esensi dari kitab itu saja.

Setelah itu beliau pamit karena akan mengisi sebuah kajian. Kami pun juga mengucapkan ucapan terima kasih sebesar-besarnya karena di persilahkan mengunjungi yayasan yang merupakan institut, perpustakaan, sekaligus badan kajian orientalisme di Mesir. Yang saya yakin banyak mahasiswa Al-azhar yang belum tau yayasan ini dan mengunjunginya, padahal gedungnya tepat di bundaran Buuts. Semoga dengan ini kita bisa semangat mengkaji “Turots kita” dan menyelamatkannya dari kajian orientalis, dan mampu mendebat balik jika orientalis mengkritisi turats kita. (end)