Makna
merupakan ‘antonim’ dari rupa. Jika makna hadir sebagai dimensi yang paling
dalam dari sesuatu, maka rupa hadir sebagai dimensi terluar dari sesuatu. Jika rupa hanya terbatas pada apa yang
terlihat, maka makna tidak terbatas pada hal itu, sebaliknya, ia merupakan
nilai yang luas dan lentur—tidak terbatas. Makna adalah interpretasi dari rupa,
sedangkan rupa adalah perwujudan dari makna. Keduanya berkait-kelindan satu
sama lain, tidak bisa dipisahkan dan takkan pernah terpisahkan. Ibarat jasmani
dan rohani manusia.
Tanpa
disadari, kita telah melakukan sebuah analogi pada paragraf di atas. Analogi
adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kita, kerap kali kita melakukannya
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bukan tanpa alasan, analogi hadir sebagai
sebuah usaha menyederhanakan sesuatu agar lebih mudah dipahami. Sehingga tak
heran, jika pada akhirnya pakar usul fikih (Ushûliyyûn) menjadikannya sebagai
metodologi penetapan hukum, atau lebih dikenal dengan konsep qiyâs (analogi). Bagaimana tepatnya konsep analogi
dalam usul fikih? Apakah ada ketentuan khusus di dalamnya, ataukah dengan
serta-merta ia bisa dilakukan?
Usul
fikih, sebagai metodologi penentuan undang-undang hukum yang bersumber pada
naqlî (teks wahyu) dan aqlî (logis-filosofis), menjadikan qiyâs bayânîy atau
analogi-eksplikatif sebagai sumber rujukan keempat, setelah kedua teks wahyu;
al-Quran dan Sunah, serta Ijma. Qiyâs bayânîy atau analogi-eksplikatif bisa
diartikan sebagai usaha membandingkan sesuatu (far’) dengan padanannya (ashl),
untuk mendapatkan satu hukum yang sama (hukm al-ashl), karena adanya satu (atau lebih) titik
kesamaan, yaitu ‘illat al-ahkâm (ratio-legis).
Contoh
analogi yang paling sering kita dengar dalam usul fikih adalah larangan minum
tuak. Ia dianalogikan dengan minum khamr (minuman keras), dengan ‘illah
sama-sama memabukkan (iskâr). Dari sini, kita bisa mengetahui empat atribut
qiyâs sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya; ashl atau dalam konteks di
atas yaitu khamr, kemudian far’ atau tuak, hukum ashl yakni dilarang (haram),
dan yang terakhir adalah ‘illah—yang berfungsi untuk memadukan hukum ashl dan
hukum far’. Lebih jelasnya, jika kita ibaratkan qiyâs bayânîy dengan kertas
segi empat yang mempunyai satu titik temu di tengah-tengahnya, kita akan
menjumpai sisi A adalah ashl, sisi B adalah hukm al-ashl, sisi C adalah far’,
sedangkan sisi D merupakan hukum far’. Masing-masing sisi tersebut memiliki
garis diagonal yang menghubungkan keempatnya dengan satu titik temu di tengah,
yaitu ‘illah .‘Illah inilah yang memegang peranan penting, ia berperan sebagai
penentu kontekstualisasi hukum. Untuk mencarinya secara akurat, Ushûliyyûn
memiliki sebuah metode, yaitu masâlik al-‘illah.
Secara
global, masâlik al-illah terbagi menjadi dua; eksplisit (min jihhat al-nuthq)
dan implisit (min jihhat al-mafhûm). Eksplisit di sini memiliki arti ‘illat
yang lebih dekat dengan teks-teks wahyu (al-Qur’an dan Sunah) serta kesepakatan
para yuris (ijma). Sedangkan yang implisit memiliki arti ‘illat yang lebih
membutuhkan analisis secara intens. Di bagian implisit ini, ada sebuah metode
yang bernama tanqîh al-manâth. Untuk menjalankannya, kita harus melalui dua
proses terlebih dahulu, takhrîj al-manâth dan tahqîq al-manâth.
Proses
pertama yang harus dilalui dalam metodologi penetapan ‘illah implisit adalah takhrîj al-manâth. Proses ini mengharuskan seorang yuris untuk
mencari kemungkinan yang paling dekat di dalam penentuan ‘illah. Kemudian
proses ini dilanjutkan dengan tanqîh al-manâth. Di tahap ini, sebuah ‘illah difilterisasi,
tujuannya untuk menghilangkan ‘illah-‘illah yang dirasa kurang sesuai. Setelah
melalui proses filterisasi dan dinyatakan final, sebuah ‘illah baru bisa
melewati tahap terakhir, yaitu tahqîq al-manâth. Dalam tahap ini, tentu tidak
lagi terkait penentuan ‘illah atau pun filterisasi, akan tetapi lebih kepada
penerapan ‘illah terhadap konteks. Sehingga sebuah ‘illah benar-benar hadir
sesuai prosedur dan konteks, tentunya.
Dalam
konteks keindonesiaan, konsep analogi-eksplikatif juga dapat dijadikan dasar
penetapan hukum oleh hakim. Hal ini sesuai dengan UU pasal 27 No. 14 tahun 1970
yang menyebutkan; “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.” Dalam arti, seorang hakim atau aparat penegak
hukum harus kreatif dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan konteks peristiwa
(recht vinding), termasuk di dalamnya bisa menggunakan qiyâs atau analogi. Akan
tetapi keputusan hakim ini hanya berlaku pada persoalan yang sedang dihadapi,
tidak berlaku sebagai peraturan umum, sesuai dengan pasal 1917 (2) KUHP.
Putusan
pengadilan dalam hukum pidana yang paling banyak dikutip—berkaitan dengan
penerapan analogi, adalah putusan pengadilan tinggi Medan No.
144/Pid/1883/PT.Mdn tanggal 8 Agustus tahun 1983 dengan Ketua Majelis Hakim
Bismar Siregar yang mengadili Terdakwa MRS. Meski pada mulanya, penggunaan
analogi dalam penetapan hukum pidana menuai pro-kontra—dengan dasar karena
bertentangan dengan asas legalitas, sesuai pasal 1 ayat (2) Rancangan KUHP
Naskah 2015—namun pada pasal 2 Rancangan KUHP Naskah 2015, konsep analogi
eksplikatif mendapatkan momentum legitimasinya. (Dion Valerian, Penerapan
Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia)
Pada
akhirnya, penggunaan qiyâs bayânîy atau analogi-eksplikatif dapat diterapkan
dalam hukum perundang-undangan. Baik hukum dalam konteks syariat maupun dalam
konteks keindonesiaan. Kehadirannya tidak hanya diafirmasi oleh teks-teks wahyu
dan ijma, namun kebutuhan manusia untuk menyederhanakan sesuatu atau eksistensi
analogi eksplikatif sebagai metode dalam pencarian solusi dari
persoalan-persoalan yang terus bermunculan, telah mendorong penggunaan analogi
secara intens. Karena interpretasi solusi yang tertuang dalam teks-teks wahyu
dan undang-undang tidak akan pernah final. Dengan demikian, mungkin kaidah
al-Hukmu Yadûru ma’a ‘Illatihî Wujûdan wa ‘Adaman, akan menemukan momentumnya.
Sumber: Kintaka.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar