Selasa, 04 Desember 2018

Implementasi Qiyâs Bayânîy dalam Perundang-undangan

Makna merupakan ‘antonim’ dari rupa. Jika makna hadir sebagai dimensi yang paling dalam dari sesuatu, maka rupa hadir sebagai dimensi terluar dari sesuatu.  Jika rupa hanya terbatas pada apa yang terlihat, maka makna tidak terbatas pada hal itu, sebaliknya, ia merupakan nilai yang luas dan lentur—tidak terbatas. Makna adalah interpretasi dari rupa, sedangkan rupa adalah perwujudan dari makna. Keduanya berkait-kelindan satu sama lain, tidak bisa dipisahkan dan takkan pernah terpisahkan. Ibarat jasmani dan rohani manusia.

Tanpa disadari, kita telah melakukan sebuah analogi pada paragraf di atas. Analogi adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kita, kerap kali kita melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bukan tanpa alasan, analogi hadir sebagai sebuah usaha menyederhanakan sesuatu agar lebih mudah dipahami. Sehingga tak heran, jika pada akhirnya pakar usul fikih (Ushûliyyûn) menjadikannya sebagai metodologi penetapan hukum, atau lebih dikenal dengan konsep qiyâs  (analogi). Bagaimana tepatnya konsep analogi dalam usul fikih? Apakah ada ketentuan khusus di dalamnya, ataukah dengan serta-merta ia bisa dilakukan?

Usul fikih, sebagai metodologi penentuan undang-undang hukum yang bersumber pada naqlî (teks wahyu) dan aqlî (logis-filosofis), menjadikan qiyâs bayânîy atau analogi-eksplikatif sebagai sumber rujukan keempat, setelah kedua teks wahyu; al-Quran dan Sunah, serta Ijma. Qiyâs bayânîy atau analogi-eksplikatif bisa diartikan sebagai usaha membandingkan sesuatu (far’) dengan padanannya (ashl), untuk mendapatkan satu hukum yang sama (hukm al-ashl),  karena adanya satu (atau lebih) titik kesamaan, yaitu ‘illat al-ahkâm (ratio-legis).

Contoh analogi yang paling sering kita dengar dalam usul fikih adalah larangan minum tuak. Ia dianalogikan dengan minum khamr (minuman keras), dengan ‘illah sama-sama memabukkan (iskâr). Dari sini, kita bisa mengetahui empat atribut qiyâs sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya; ashl atau dalam konteks di atas yaitu khamr, kemudian far’ atau tuak, hukum ashl yakni dilarang (haram), dan yang terakhir adalah ‘illah—yang berfungsi untuk memadukan hukum ashl dan hukum far’. Lebih jelasnya, jika kita ibaratkan qiyâs bayânîy dengan kertas segi empat yang mempunyai satu titik temu di tengah-tengahnya, kita akan menjumpai sisi A adalah ashl, sisi B adalah hukm al-ashl, sisi C adalah far’, sedangkan sisi D merupakan hukum far’. Masing-masing sisi tersebut memiliki garis diagonal yang menghubungkan keempatnya dengan satu titik temu di tengah, yaitu ‘illah .‘Illah inilah yang memegang peranan penting, ia berperan sebagai penentu kontekstualisasi hukum. Untuk mencarinya secara akurat, Ushûliyyûn memiliki sebuah metode, yaitu masâlik al-‘illah.

Secara global, masâlik al-illah terbagi menjadi dua; eksplisit (min jihhat al-nuthq) dan implisit (min jihhat al-mafhûm). Eksplisit di sini memiliki arti ‘illat yang lebih dekat dengan teks-teks wahyu (al-Qur’an dan Sunah) serta kesepakatan para yuris (ijma). Sedangkan yang implisit memiliki arti ‘illat yang lebih membutuhkan analisis secara intens. Di bagian implisit ini, ada sebuah metode yang bernama tanqîh al-manâth. Untuk menjalankannya, kita harus melalui dua proses terlebih dahulu, takhrîj al-manâth dan tahqîq al-manâth.

Proses pertama yang harus dilalui dalam metodologi penetapan ‘illah  implisit adalah takhrîj al-manâth.  Proses ini mengharuskan seorang yuris untuk mencari kemungkinan yang paling dekat di dalam penentuan ‘illah. Kemudian proses ini dilanjutkan dengan tanqîh al-manâth. Di tahap ini, sebuah ‘illah difilterisasi, tujuannya untuk menghilangkan ‘illah-‘illah yang dirasa kurang sesuai. Setelah melalui proses filterisasi dan dinyatakan final, sebuah ‘illah baru bisa melewati tahap terakhir, yaitu tahqîq al-manâth. Dalam tahap ini, tentu tidak lagi terkait penentuan ‘illah atau pun filterisasi, akan tetapi lebih kepada penerapan ‘illah terhadap konteks. Sehingga sebuah ‘illah benar-benar hadir sesuai prosedur dan konteks, tentunya.

Dalam konteks keindonesiaan, konsep analogi-eksplikatif juga dapat dijadikan dasar penetapan hukum oleh hakim. Hal ini sesuai dengan UU pasal 27 No. 14 tahun 1970 yang menyebutkan; “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.”  Dalam arti, seorang hakim atau aparat penegak hukum harus kreatif dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan konteks peristiwa (recht vinding), termasuk di dalamnya bisa menggunakan qiyâs atau analogi. Akan tetapi keputusan hakim ini hanya berlaku pada persoalan yang sedang dihadapi, tidak berlaku sebagai peraturan umum, sesuai dengan pasal 1917 (2) KUHP.


Putusan pengadilan dalam hukum pidana yang paling banyak dikutip—berkaitan dengan penerapan analogi, adalah putusan pengadilan tinggi Medan No. 144/Pid/1883/PT.Mdn tanggal 8 Agustus tahun 1983 dengan Ketua Majelis Hakim Bismar Siregar yang mengadili Terdakwa MRS. Meski pada mulanya, penggunaan analogi dalam penetapan hukum pidana menuai pro-kontra—dengan dasar karena bertentangan dengan asas legalitas, sesuai pasal 1 ayat (2) Rancangan KUHP Naskah 2015—namun pada pasal 2 Rancangan KUHP Naskah 2015, konsep analogi eksplikatif mendapatkan momentum legitimasinya. (Dion Valerian, Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia)


Pada akhirnya, penggunaan qiyâs bayânîy atau analogi-eksplikatif dapat diterapkan dalam hukum perundang-undangan. Baik hukum dalam konteks syariat maupun dalam konteks keindonesiaan. Kehadirannya tidak hanya diafirmasi oleh teks-teks wahyu dan ijma, namun kebutuhan manusia untuk menyederhanakan sesuatu atau eksistensi analogi eksplikatif sebagai metode dalam pencarian solusi dari persoalan-persoalan yang terus bermunculan, telah mendorong penggunaan analogi secara intens. Karena interpretasi solusi yang tertuang dalam teks-teks wahyu dan undang-undang tidak akan pernah final. Dengan demikian, mungkin kaidah al-Hukmu Yadûru ma’a ‘Illatihî Wujûdan wa ‘Adaman, akan menemukan momentumnya.

Sumber: Kintaka.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar