Kutipan ayat suci tadi menjelaskan bahwa ruang/dunia tidaklah homogen, tetapi selalu berubah seiring expriences (pengalaman) yang mempengaruhinya. Ada beberapa bagian dari ruang yang berbeda secara kualitatif dari yang lainnya, dan ini dinamakan ruang yang sakral. Sedangkan dalam pengalaman profan (kebalikan dari sakral) ruang adalah homogen dan netral, tidak ada perbedaan kualitatif yang membedakan antara satu bagian dengan yang lain.
Dalam buku The Sacred And The Profane The Nature Of Religion sakral diperkenalka oleh Mircea Eliade dengan kata Hierophany. Lawan dari hierophany adalah profan itu sendiri.
Dalam sejarahnya, hierophany dan profan adalah dua kutub expriences (pengalaman) tersebut dalam ruang. Setiap ruang yang sakral berimplikasi menjadi sebuah hierophany, dan ruang yang tidak sakral itu berimplikasi dengan yang profan, yang umumnya terjadi pada masyarakat non-religius
Ka’bah misalnya, dalam kepercayaan agama Islam Ka’bah bukanlah seonggok batu semata. Walaupun disatu sisi Ka’bah sampai saat ini hanyalah seonggok batu, tapi disisi lain tak seorang pun dari Umat Islam yang religius akan beranggapan sesederhana itu, semuanya bermula dari satu hierophany yang teramat cepat. Yaitu ketika orang islam meyakini Ka’bah itu disentuh oleh sakral maka objek yang profan itu berubah. Objek itu bukan hanya sekadar batu, tapi sebuah objek suci dan menakjubkan, karena didalam terkandung yang sakral/hierophany.
Dan Salib misalnya, walaupun objeknya hanyalah sebuah kayu yang disilangkan secara vertikal dan horizontal, tapi karena bersinggungan dengan yang diyakini sebagai hierophany, maka Salib bukan hanya sekadar kayu, tapi ada nilai kesakralan di dalamnya.
Jika penganut agama Islam merasa heran melihat bagaimana penganut agama Kristen memperlakukan Salib, maka coba bayangkan bagaimana herannya umat Kristiani melihat umat Muslim memperlakukan batu, mengelilinginya tujuh kali, lalu menciumnya.
Secara historis manusia memiliki sistem-sistem kredo yang sakral untuk mengatur kehidupan yang religius ini. Seperti misalnya Menurut Eliade dalam bukunya Cosmos And History The Myth Of The Eternal Return masyarakat arkais (archaic) ketika ingin membangun perkampungan mereka tidak serta-merta memilih sembarang tempat. Ada tiga yang dikemukakan Eliade yaitu:
1. Gunung yang disakralkan dimana dianggap sebagai pertemuan antara langit dan bumi yang menggambarkan sebagai pusat dunia. Mengambil sisi hierophany sebagai tolak ukur dimana perkampungan itu akan dibangun.
2. Kuil dan kota yang disakralkan, setelah perluasan perkampungan di sekelilingnya, maka setiap kuil, perkampungan dan kediaman kerajaan adalah tempat suci sehingga menjadi pusat.
3. sebagai axis (poros) mundi, dianggap sebagai titik pertemuan antara bumi dan langit.
Berdasarkan ketiga hal inilah maka manusia religius akan lahir. Biasanya titik pusat yang sakral dari kosmos ini ditandai dengan berbagai tanda untuk melambangkan titik pusat tersebut. Tanda-tanda tersebut juga bisa berbentuk pohon atau gunung seperti poin di atas. Alasan kenapa ini sangat disakralkan oleh masyarakat terutama masyarakat Arkais (archaic) adalah karena tanda-tanda tersebut bukan hanya sebagai pusat perkampungan, melainkan juga berfungsi sebagai axis mundi (pusat dunia). Dia merupakan poros utama, tiang penyangga, tempat kehidupan berputar.
Seperti dalam mitologi India Gunung Meru adalah pusat/poros dari dunia, dalam kepercayaan Iran, Gunung Haraberazaiti (Harburz) adalah pusat dari dunia, Gunung Tabor dan Gerizim adalah pusat dunia, dalam kepercayaan Kristen, Gunung Golghota adalah pusat dunia, sejumlah populasi Buddha di Laos, Utara Siam, Thailand, meyakini Gunung Zinnalo sebagai pusat dunia, dalam kepercayaan Jawa, Indonesia, Candi Borobudur adalah image of the cosmos dan dibangun layaknya sebuah gunung (ziggurat), dalam kepercayaan Islam Ka’bah adalah pusat dari dunia.
Kaitannya dengan axis mundi ini, kisah tentang “Tangga Jakob” sangat cocok untuk mendeskripsikan model ini. tempat dimana ia menemukan Axis Mundi, sebuah titik dimana seseorang menemukan tangga sakral penghubung bumi, tempat bertemunya dua hal yang berlawanan: Yang Sakral dan Yang Profan.
Ketika Jacob dalam mimpinya di Haran melihat tangga yang menjulang ke langit (surga) persis dari batu yang ia jadikan bantal. Tangga itu dilalui oleh para malaikat yang naik, dan ia mendengar Firman Tuhan kepadanya: "Akulah Tuhan, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak" ia terbangun sembari ketakutan dan menangis:”Sungguh seram tempat ini”, gumamnya. tempat ini tidak lain adalah Rumah Tuhan dan pintu gerbang menuju Surga. Setelah itu ia menyusun batu-batu menjadi seperti tangga dan menuangkan minyak di atasnya. Ia menyebut tempat itu dengan Beth-el (Rumah Tuhan)"(Kejadian pasal 28:12-19).
Batu yang disusun itu sebagai sebuah simbol implikasi untuk mengekspresikan “pintu surga”. Ketika sebuah tempat menjadi objek sakralisasi, maka ia bukan sebagai objek yang disucikan, namun sebagai hierophany, yaitu manifestasi dari yang sakral.
Yerusalem menjadi Axis Mundi bagi Umat Islam karena disitulah Muhammad singgah sebelum menuju langit (Surga). Sebagai tempat pertemuan antara yang sakral dan yang profan.