“Maaf... Anda ingin ke mana?” Tanya Pria itu
“Ke Alekdsandria.”
Jawabku
“Tujuan kita sama!”
“Senang bisa
berangkat bersama Anda.”
Ia membuat kekesalanku
reda. Mau tak mau saya harus membuang kekecewaan dan menampakkan wajah yang
ceria, lupa akan kejengkelanku yang mengubun-ubun gara-gara trem yang saya tumpangi
dari Kattamea ke Terminal Sayyeda Aesha terjebak macet di Wathaniyah. Akibatnya
saya tiba di stasiun selepas kereta ekslusif berangkat tiga puluh satu menit
lalu. Keadaan memaksaku untuk menumpang kereta kelas ekonomi ini—setelah kutimbang-timbang
demi menghemat pengeluaran, di samping agar tak menunggu lama untuk kereta eksklusif
selanjutnya yang akan berangkat tiga jam lagi. Jam menunjukkan pukul 08. 37
menit, stasiun Ramsies semakin ramai sehingga saya cepat-cepat ambil antrean membeli
tazkarah—karcis, seharga 7 Guineh Mesir lalu memasuki kereta. Saya
mengambil tempat duduk di gerbong keempat dari belakang di dekat jendela. Tak
berapa lama saya duduk keluarga itu datang disusul seorang gadis yang berada di
sampingku.
“Namamu siapa?”
“Muhammad.” Jawabku
“Anda?”
“Saya Sabri,” suaranya
menyeruak di tengah desakan orang dan mesin kereta tua yang ribut, “ini istri
dan anak saya, Fatma dan Jumana,” anak kecil itu—usianya barangkali tak lebih
dari lima tahun taksirku, melambaikan tangan ke arahku. Saya membalasnya dan
mengatakan bahwa ia cantik sekali—senyumnya mengembang malu-malu di pangkuan ayahnya.
Selama di atas kereta, pandanganku
banyak disita oleh Jumana ketimbang pemandangan di luar jendela—tatapannya yang
bersinar-sinar tak menghakimiku, maksudku, tak sinis dengan adanya saya sebagai
orang asing di tengah-tengah mereka. Seperti ayah dan ibunya—yang kemudian
bercerita banyak tentang kehidupan pribadi dan keluarganya sepanjang
perjalanan.
Sabri lahir dan
besar di kompleks perumahan Jalan Muiz Li Dini-l-Lah kota tua Fatimiyah.
Ayahnya wirausahwan penggemar berat karya-karya Abbas al Aqqad sejak kecil,
menurut pengakuannya, ia disuguhi bacaan-bacaan sastra yang memadai dan kelak menjadikannya
bagian dari surat kabar tertua di Afrika, Al-Ahram. Meski ibunya—pensiunan pegawai
pemerintah, lebih menginginkannya jadi seorang ilmuwan islam ketimbang jurnalis.
Harapan ibunya seperti keinginan para ibu di Mesir kala itu, ia ingin anaknya
jadi ulama kebanggaan orang Mesir mengikuti jejak Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi.
Tetapi sejak kecil ia telah terpesona dengan Abbas al-Aqqad dan ketika ia
memutuskan untuk jadi wartawan, ibunya berkata bahwa itu juga pekerjaan yang
mulia asal Sabri melakoninya dengan sepenuh hati untuk berbuat baik kepada
sesama.
Empat tahun jadi
wartawan ia sering bertemu Fatma di acara-acara jurnalis, mereka berkenalan
lalu menikah. “Muhammad, ada tiga keindahan Alexandrea yang tak akan kau jumpai
di kota manapun di dunia,” saya penasaran dan ia melanjutkan, “sejarahnya yang
merajut peradaban-peradaban dunia, kotanya yang indah, dan perempuannya yang
cantik.” Saya tertawa. Suasana akrab diantara kami pun terus berlanjut sehingga
kami membicarakan perihal yang berserpih-serpih di atas laju kereta yang
melewati provinsi demi provinsi. Dan kalau boleh saya katakan, percakapan kami
semestinya terjadi di sebuah kafe atau di ruang tengah keluarga atau di tengah
taman kota, bukan di tempat umum apalagi di atas kereta ini.
“Kamu orang
Indonesia?”
“Sulawesi.” Jawabku
“Negara baru?” Saya
tertawa
“Kapan merdeka?
Sulawesi bagian Indonesia, bukan?” tanyanya.
“Maksud saya, saya
orang Indonesia tapi tinggal di pulau Sulawesi.”
“Saya kira begitu,
saya tak pernah mendengar Sulawesi ingin pisah dari Indonesia. Kecuali Aceh dan
Papua.” Dalam hal ini ia menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang jurnalis.
“Tak sepenuhnya, hanya
sebagian dari mereka ingin berpisah.”
“Benar, lazimnya ada
propoganda. Provokator .....!”
“Kalau Kamu sendiri?”
Saya tertawa lagi
“Maksudnya Sulawesi
merdeka? Belum terpikirkan.” Ia tertawa
“Buat apa ingin
merdeka kalau kau sudah berada dalam kemerdekaan? Maksud saya, mengejar janji
kemerdekaan yang abu-abu lantas meninggalkan kemerdekaan yang sudah jelas kau
nikmati.”
“Tak sepenuhnya
merdeka. Makanya, ada sebagian yang menuntut kemerdekaan.” Lalu saya menggiring
pembicaraan kepada hal yang lebih enteng, saya tak sanggup mendengar kuliah
kemerdekaan darinya sepagi ini. “Anda menikmati pekerjaan Anda?”
“Mau tak mau?”
“Maksudnya?”
“Agak sulit menggambarkannya, Kawan! Karena di Mesir, ada batasan-batasan kebebasan pers.” Saya tidak terkejut, seperti kemerdekaan, kebebasan yang ia maksud juga tergantung-gantung di antara langit dan bumi, hampir dan tak hampir dicapai dan senantiasa diperdebatkan.
Seorang beragama yang baik adalah warga negara yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar