Sabtu, 25 Agustus 2018

Salafi Garis Lurus, Adakah? (Part 1)

Berbicara tentang paham salafi (Salafisme) maka yang akan terlintas kemudian dalam benak kita adalah kata wahabi. Seakan-akan salafi dan wahabi adalah dua frasa yang tidak dapat dipisahkan. Kemudian ketika mendengar kata wahabi disebutkan maka yang terlintas kemudian pasti sosok yang berada di baliknya. Yaitu Muhammad Bin Abdul Wahab. Karena beliaulah yang paling bertanggung jawab dibalik munculnya wahabisme.

Bagi umat Islam sendiri, dalam memandang Muhammad bin Abdul Wahab setidaknya ada tiga perspektif yang berkembang di masyarakat muslim. Persepsi pertama memandang beliau sebagai seorang pendiri mazhab kelima disamping empat mazhab yang sudah ada. Yaitu Mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Perspektif kedua bagi sebagian umat Islam yang lain lagi menganggap beliau adalah sosok yang mencetus wahabi sebagai sebuah paham dalam beragama. Perspektif ketiga bagi sebagian umat Islam yang lain lagi menganggap beliau adalah sosok pembaharu Abad ke-19.

Terlepas dari apakah kita memandang sosok beliau dari perspektif pertama, kedua, atau ketiga. Tapi ada baiknya Sebelum kita menghakimi pemikiran sesorang, kita harus tau dulu apa yang membuat Muhammad Bin Abdul Wahab sampai harus mencetuskan mazhab, atau paham keagamaan, atau pembaharuan atas nama wahabisme.

Kenapa perlu ada ulasan seperti ini? Karena ini sangat penting sekali untuk diketahui. Sebuah paham yang muncul dari luar akan mempengaruhi pola pikir dalam hal apapun termasuk keagamaan. Seperti kita ambil contoh kecil perbedaan dalam Qawaid Ushuliyah dalam Istinbath hukum, antara Ahl Al-Hadits di Madinah dan  Ahl Ra’yi di Irak. Perbedaan ini dipicu dari berbagai macam segi.

Dalam kitabnya yang berjudul At Thoriq Ila Al-Yaqozol Ummah seorang pemikir Islam Kontemporer asal Mesir, Syekh Muhammad Imarah. Masih merupakan deretan dari masyayikh Al-Azhar, sekaligus pemimpin Majma’ El-Bohuts Al-Azhar lembaga riset Al-Azhar. Beliau juga merupakan mantan pimpinan redaksi majalah Al-Azhar yang sekarang pimpinan redaksinya Syekh Muhammad Hamdi Zagzug. Di dalam kitabnya menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hal paling mendasar yang menjadi sebab Muhammad Bin Abdul Wahab mencetuskan wahabisme.

Pertama, letak geografis tempat Muhammad Bin Abdul Wahab lahir
Secara geografis territorial, Muhammad Bin Abdul Wahab lahir di wilayahh Hijaz. Wilayah yang jauh dari peradaban. Sehingga menghasilkan diskursus pemahaman islam yang puritan.

Kedua, kondisi sosial keagamaan yang berkembang di kawasan Hijaz ketika itu.
secara sosial keagamaan wilayah hijaz sudah banyak praktek bid’ah dan khurafat sebelum dan sesudah lahirnya Muhammad Bin Abdul Wahab.

Ketiga, geografis pemikiran.
Secara fikih wilayah Hijaz menganut fikih Mazhab Maliki yang lebih tekstual. Dan secara aqidah menganut akidah Mazhab Salafi Ahmad Bin Hambal dan Ibnu Taimiyyah yang sangat fundamental.

Dari ketiga hal ini maka bisa ditarik sebuah konklusi. Bahwa wahabi muncul diakibatkan banyaknya praktek-praktek bid’ah dan khurafat dalam sosial keagamaan (point 2), dan dalam penyelesaian praktek-praktek tersebut rasionalitas tidak dibutuhkan karena secara geografis teritorial memang sudah jauh dari peradaban dan tidak mungkin ada penawaran secara rasional dalam menyikapi praktek-praktek tersebut (point 1), apalagi hal itu juga didukung oleh mazhab yang tekstual dan aqidah yang fundamental yang berakhir pada penyelesaian berdasarkan apa yang tertulis secara nash dalam Al-Quran dan Sunnah (point 3).

Ideologi salafi wahabi ini kemudian dimasukkan dalam kategori salafi tekstual Salafiyah Nushusiyyah oleh Prof. Dr. Ahmad Mahmud Karimah dalam bukunya Kritik Salafi Wahabi. Kemudian ideologi ini dibangun atas prinsip:
  1. Kembali kepada nash yaitu Al-Quran dan Sunnah serta Menolak campur tangan akal didalamnya. Sebagai konsekuensi menolak mashodir tasyri’ ke-4 yaitu qiyas,serta menolak ta’wil dalam memahami nash.
  2. Kembali kepada akidah salafusshalih yang murni dan sesuai dengan ajaran Islam yang asli.
  3. Mengamalkan ibadah hanya pada apa yang menjadi tuntutan Rasul Saw dan membenarkan amal ibadah yang telah disimpangkan oleh praktek bid’ah, khurafat, takhayul.
next...

Selasa, 07 Agustus 2018

Kenapa Harus Mesir, Dan Kenapa Harus Al-Azhar??

Ini adalah cerita yang sebenarnya sudah tersimpan lama sekali dalam file laptop saya. Cerita lama yang sudah berganti-ganti tempat mulai Notebook waktu zaman Aliyah dulu, pindah ke notebook lagi, ke plashdisk, harddisk dan akhirnya ke laptop saya yang sekarang. Cerita ini saya dapatkan setelah membongkar-bongkar file-file lama dan membacanya satu-persatu. Menarik menurut saya. Ternyata seiring waktu penggunaan diksi dalam tulisan saya selalu berubah. Mungkin karena kecendrungan pengaruh bahan bacaan. (hehe.. ^_^ ).
Dan cerita ini saya tulis waktu masih duduk dibangku Aliyah pondok pesantren Darud Da’wah Wal Irsyad Mangkoso, yang sekarang di Mesir saya menjadi ketua Alumni pondok tersebut. Nah kita lansung mulai saja ceritanya.
***
Sebagaimana biasanya anak Aliyah yang akan menyelesaikan jenjang pendidikan dari yang ranahnya sempit ke ranah yang luas dalam hal ini Universitas. Kami lagi semangat-semangatnya memutuskan perguruan tinggi mana yang akan kita pilih melanjutkan studi. Sebagian memilih kuliah di STAI Mangkoso dan mengikuti Kader Ulama, sebagian memilih akan melanjutkan kuliahnya di ibu kota provinsi, Makassar. Dan beberapa juga memilih keluar provinsi seperti ke Jogjakarta, Jakarta. Dan teman saya bahkan ada yang berniat ke Madinah dan Mesir. Menurut saya semua perguruan tinggi bagus. Entah lokal atau interlokal toh semua tergantung kitanya belajar atau tidak.

Saya pribadi jauh hari sudah memutuskan perguruan tinggi mana yang akan saya pinang. Yaitu Universitas Al-Azhar. Bukan karena ikut-ikutan, bukan ingin gaya-gayaan, bukan ingin jalan-jalan. Tapi, semua semata-mata sejarah yang saya lihat dari Mesir dan Universitas Al-Azhar.

Setidaknya ada tiga alasan kenapa saya memilih Mesir dan Al-Azhar.

Pertama, tinjauan sejarah. Kita tahu, Al-Azhar di Mesir bukanlah perguruan pertama yang didirikan dalam dunia Islam. Sebelumnya telah berdiri Madrasah Nabi di era kenabian Nabi Muhammad Saw. Madrasah dengan sistem pendidikan tertutup hanya untuk kalangan umat Islam saja itu dimulai di rumah sahabat Arqam Bin Abu Arqam. Kemudian era Dinasti Umayyah sistem pendidikan mulai terbuka secara umum di Masjid Umawi di Syam. Setelah pusat kekhalifahan berpindah ke Baghdad maka didirikan sebuah maha karya agung yang tidak akan lekang oleh zaman, yaitu Baitul Hikmah yang bahkan menyaingi Madrasah Nizhamiyyah di Syam. Konon Khalifah Al-Ma’mum sampai harus menghabiskan setengah stok harta negara untuk membangun Baitul Hikmah. Dan Al-Azhar ketika itu belum dibangun.
Seiring waktu terjadi agresi yang dilancarkan oleh Jengis Khan dari Bangsa Mongol. Menyapu habis Baitul Hikmah dan menjarah ibu kota kekhalifahan, Baghdad. Para ulama dan ilmuwan terpaksa mengungsi ke Syam. Ternyata penaklukkan Bangsa Mongol yag keji tidak hanya sampai situ. Tapi berlanjut ke Syam. Otomatis semua ulama, ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu mengungsi lagi ke Negri Mesir. Bangsa Mongol pun juga berniat melanjutkan invansi sampai ujung kekhalifahan Dunia Islam. Ketika itu di Mesir adalah masa pemerintahan Dinasti Mamalik dan Al-Azhar telah dibangun. Para alim ulama, ilmuwan dalam berbagai cabang ilmu hanya berharap kemenangan bagi pasukan Mesir melawan tentara Mongol. Jika Mesir hancur maka tidak ada lagi yang mampu membendung tentara jahannam tersebut. Disebuah lembah yang terkenal dengan nama Ain Jalut, dibawah komando panglima Saifuddin Qutuz pasukan Mesir berhasil mengalahkan dan menghentikan invansi Bangsa Mongol. Kemenangan yang dicatat dalam sejarah yang jika seandainya Mesir ditaklukkan. Maka peradaban Islam akan hilang. Mekkah dan Madinah akan rata. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan, Mesir adalah harapan peradaban yang tersisa. Berkumpulnya para alim ulama, ilmuwan, dan hancurnya baitul hikmah membuat mesir menjadi pusat peradaban islam selanjutnya. Dan tentunya Al-Azhar punya peranan penting.

Kedua, dari segi politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Mesir adalah pusat dari semua negara-negara Arab. Itu dimulai dengan gaung pan-arabisme (persatuan Dunia Arab) oleh Presiden pertama Gamal Abdul Nasser. Membuat Mesir menajadi negara yang dihormati di Dunia Arab. Apalagi setelah kemenangan Mesir atas Israel di Manshurah dan merebut kembali Semenanjung Sinai. Yang bahkan pasukan koalisi Dunia Arab tidak mampu mengalahkan Israel.

Ketiga, Mesir sebagai tempat belajar dan berkiprah sejumlah tokoh-tokoh besar Islam, sebutlah Jalamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain. Ketiga tokoh yang sebutkan pertama adalah tokoh-tokoh yang saya kagumi dan membuat saya memilih Mesir dan Al-Azhar sebagai tempat saya belajar berikutnya.

Seorang filosof besar Islam abad ini, Abu Ya’rub Al-Marzuqi, suatu ketika ditanya tentang alasannya melanjutkan kuliahnya di Prancis. Kenapa bukan di negri anda (Tunisia). Kemudian dijawab oleh beliau: “sebenarnya dengan membaca saja telah cukup membuat saya belajar. Tapi, dengan hidup disana (Prancis), tempat filsafat lahir dan tumbuh, belajar dengan manhaj mereka, berguru pada filosof mereka, bergaul dengan masyarakatnya adalah suatu hal yang berbeda”.

Hal yang sama juga saya rasakan. Menonton ”Ketika Cinta Bertasbih”, “Ayat-Ayat Cinta”, ensiklopedia, buku sejarah, mungkin telah membuat saya mengenal Mesir dan Al-Azhar. Namun dengan menginjakkan kaki di Mesir, melihat gundukan pasirnya lansung, duduk diantara tiang-tiang masjid al-azhar yang penuh dengan sejarah, adalah suatu hal yang berbeda dan saya yakin jawabannya sama dengan filosof muslim diatas.


Mungkin itulah alasan saya juga kenapa harus ke mesir. dan dari lantai 5 flat apartemenku. Dari balik jendela. Memandangi bebas Hadiqah Al-Azhar, saya bertekad akan tetap disini sampai selesai, walaupun dengan sistem politik yang otoriter, keadaan negara yang selalu state emergency, sistem pendidikannya yang tidak disiplin, penjambretan terhadap mahasiswa sudah seperti hal yang biasa, tapi saya akan tetap disini. Insyaallah.