Ini adalah
cerita yang sebenarnya sudah tersimpan lama sekali dalam file laptop saya.
Cerita lama yang sudah berganti-ganti tempat mulai Notebook waktu zaman Aliyah
dulu, pindah ke notebook lagi, ke plashdisk, harddisk dan akhirnya ke laptop
saya yang sekarang. Cerita ini saya dapatkan setelah membongkar-bongkar
file-file lama dan membacanya satu-persatu. Menarik menurut saya. Ternyata
seiring waktu penggunaan diksi dalam tulisan saya selalu berubah. Mungkin
karena kecendrungan pengaruh bahan bacaan. (hehe.. ^_^ ).
Dan cerita ini
saya tulis waktu masih duduk dibangku Aliyah pondok pesantren Darud Da’wah Wal
Irsyad Mangkoso, yang sekarang di Mesir saya menjadi ketua Alumni pondok
tersebut. Nah kita lansung mulai saja ceritanya.
***
Sebagaimana
biasanya anak Aliyah yang akan menyelesaikan jenjang pendidikan dari yang
ranahnya sempit ke ranah yang luas dalam hal ini Universitas. Kami lagi
semangat-semangatnya memutuskan perguruan tinggi mana yang akan kita pilih
melanjutkan studi. Sebagian memilih kuliah di STAI Mangkoso dan mengikuti Kader
Ulama, sebagian memilih akan melanjutkan kuliahnya di ibu kota provinsi,
Makassar. Dan beberapa juga memilih keluar provinsi seperti ke Jogjakarta,
Jakarta. Dan teman saya bahkan ada yang berniat ke Madinah dan Mesir. Menurut
saya semua perguruan tinggi bagus. Entah lokal atau interlokal toh semua
tergantung kitanya belajar atau tidak.
Saya pribadi
jauh hari sudah memutuskan perguruan tinggi mana yang akan saya pinang. Yaitu
Universitas Al-Azhar. Bukan karena ikut-ikutan, bukan ingin gaya-gayaan, bukan
ingin jalan-jalan. Tapi, semua semata-mata sejarah yang saya lihat dari Mesir
dan Universitas Al-Azhar.
Setidaknya ada
tiga alasan kenapa saya memilih Mesir dan Al-Azhar.
Pertama,
tinjauan sejarah. Kita tahu, Al-Azhar di Mesir bukanlah perguruan pertama yang
didirikan dalam dunia Islam. Sebelumnya telah berdiri Madrasah Nabi di era
kenabian Nabi Muhammad Saw. Madrasah dengan sistem pendidikan tertutup hanya
untuk kalangan umat Islam saja itu dimulai di rumah sahabat Arqam Bin Abu
Arqam. Kemudian era Dinasti Umayyah sistem pendidikan mulai terbuka secara umum
di Masjid Umawi di Syam. Setelah pusat kekhalifahan berpindah ke Baghdad maka
didirikan sebuah maha karya agung yang tidak akan lekang oleh zaman, yaitu
Baitul Hikmah yang bahkan menyaingi Madrasah Nizhamiyyah di Syam. Konon
Khalifah Al-Ma’mum sampai harus menghabiskan setengah stok harta negara untuk
membangun Baitul Hikmah. Dan Al-Azhar ketika itu belum dibangun.
Seiring waktu
terjadi agresi yang dilancarkan oleh Jengis Khan dari Bangsa Mongol. Menyapu
habis Baitul Hikmah dan menjarah ibu kota kekhalifahan, Baghdad. Para ulama dan
ilmuwan terpaksa mengungsi ke Syam. Ternyata penaklukkan Bangsa Mongol yag keji
tidak hanya sampai situ. Tapi berlanjut ke Syam. Otomatis semua ulama, ilmuwan
dalam berbagai disiplin ilmu mengungsi lagi ke Negri Mesir. Bangsa Mongol pun
juga berniat melanjutkan invansi sampai ujung kekhalifahan Dunia Islam. Ketika
itu di Mesir adalah masa pemerintahan Dinasti Mamalik dan Al-Azhar telah
dibangun. Para alim ulama, ilmuwan dalam berbagai cabang ilmu hanya berharap
kemenangan bagi pasukan Mesir melawan tentara Mongol. Jika Mesir hancur maka
tidak ada lagi yang mampu membendung tentara jahannam tersebut. Disebuah lembah
yang terkenal dengan nama Ain Jalut, dibawah komando panglima Saifuddin Qutuz
pasukan Mesir berhasil mengalahkan dan menghentikan invansi Bangsa Mongol.
Kemenangan yang dicatat dalam sejarah yang jika seandainya Mesir ditaklukkan.
Maka peradaban Islam akan hilang. Mekkah dan Madinah akan rata. Dari sini kita
dapat mengambil kesimpulan, Mesir adalah harapan peradaban yang tersisa.
Berkumpulnya para alim ulama, ilmuwan, dan hancurnya baitul hikmah membuat
mesir menjadi pusat peradaban islam selanjutnya. Dan tentunya Al-Azhar punya
peranan penting.
Kedua, dari
segi politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Mesir adalah pusat dari semua
negara-negara Arab. Itu dimulai dengan gaung pan-arabisme (persatuan Dunia
Arab) oleh Presiden pertama Gamal Abdul Nasser. Membuat Mesir menajadi negara
yang dihormati di Dunia Arab. Apalagi setelah kemenangan Mesir atas Israel di
Manshurah dan merebut kembali Semenanjung Sinai. Yang bahkan pasukan koalisi
Dunia Arab tidak mampu mengalahkan Israel.
Ketiga, Mesir
sebagai tempat belajar dan berkiprah sejumlah tokoh-tokoh besar Islam, sebutlah
Jalamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain. Ketiga
tokoh yang sebutkan pertama adalah tokoh-tokoh yang saya kagumi dan membuat
saya memilih Mesir dan Al-Azhar sebagai tempat saya belajar berikutnya.
Seorang filosof
besar Islam abad ini, Abu Ya’rub Al-Marzuqi, suatu ketika ditanya tentang
alasannya melanjutkan kuliahnya di Prancis. Kenapa bukan di negri anda
(Tunisia). Kemudian dijawab oleh beliau: “sebenarnya dengan membaca saja telah
cukup membuat saya belajar. Tapi, dengan hidup disana (Prancis), tempat
filsafat lahir dan tumbuh, belajar dengan manhaj mereka, berguru pada filosof
mereka, bergaul dengan masyarakatnya adalah suatu hal yang berbeda”.
Hal yang sama juga saya rasakan. Menonton ”Ketika Cinta Bertasbih”, “Ayat-Ayat Cinta”, ensiklopedia, buku sejarah, mungkin telah membuat saya mengenal Mesir
dan Al-Azhar. Namun dengan menginjakkan kaki di Mesir, melihat gundukan
pasirnya lansung, duduk diantara tiang-tiang masjid al-azhar yang penuh dengan
sejarah, adalah suatu hal yang berbeda dan saya yakin jawabannya sama dengan
filosof muslim diatas.
Mungkin itulah
alasan saya juga kenapa harus ke mesir. dan dari lantai 5 flat apartemenku.
Dari balik jendela. Memandangi bebas Hadiqah Al-Azhar, saya bertekad akan tetap
disini sampai selesai, walaupun dengan sistem politik yang otoriter, keadaan
negara yang selalu state emergency, sistem pendidikannya yang tidak disiplin,
penjambretan terhadap mahasiswa sudah seperti hal yang biasa, tapi saya akan
tetap disini. Insyaallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar