Minggu, 07 Oktober 2018

Kopi, Kafe, dan Pergolakan Pemikiran

Kafe memang tempat yang nyaman untuk berkumpul dan bersantai. Di sana kita bisa menjernihkan pikiran dan suasana hati bersama orang-orang terdekat seperti kawan, kerabat, dan bahkan kolega. Suasana di kafe dibangun dengan suasana yang inklusif sehingga setiap pengunjung dapat mencurahkan hati dan pikirannya kepada kawannya dan disana kita dapat menambah teman baru atau sekedar bertemu dengan orang-orang baru.

Namun, perlu diketahui bahwa ternyata kafe tidak sebatas tempat berkumpul. Kafe ternyata telah menjadi tempat yang sangat vital untuk bertukar pikiran. Sebab, kafe merupakan tempat yang sarat dengan semangat egaliter. Bahkan, terkadang, pikiran-pikiran yang muncul dan bertransformasi di dalamnya pun adalah pikiran-pikiran yang segar dan revolusioner. Dikutip dari National Public Radio (How Coffee Influenced The Course Of History), organisasi media yang bertugas sebagai sindikasi bagi radio penyiaran publik di Amerika Serikat mengungkapkan, bahwa kafe ternyata memiliki andil yang sangat signifikan di dalam perumusan pikiran-pikiran yang menghasilkan peristiwa-peristiwa bersejarah dan fakta-fakta kemanusiaan. Hal itu disebabkan karena kopi mampu membuat orang berpikir dan kafe merupakan tempat yang egaliter sehingga fakta kemanusiaan dan peristiwa penting seperti Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika direncanakan di kafe atau kedai kopi.

Tak hanya di Eropa, ternyata kopi dan kafe telah lebih awal dikenal di dunia Arab. Kopi sebagai minuman pertama kali dipopulerkan oleh orang-orang Arab. Biji kopi dari Abessinia dibawa para pedagang Arab ke Yaman dan mulai menjadi komoditas komersial. Meski demikian, keberadaan kopi, sebagaimana di Eropa, di dunia Arab tidak sebatas minuman kopi. Kopi di dunia Arab juga menjadi entitas yang telah ikut andil dalam melahirkan berbagai pikiran mulai dari sufisme, politik, sastra dan pikiran-pikiran lainnya.

Dikutip dari BBC (Coffee and Qahwa: How a drink for Arab mystics went global), penanaman kopi paling awal adalah di Yaman dan orang-orang Yaman menamainya qahwa, yang sebenarnya berarti anggur. Para Sufi di Yaman menggunakan kopi untuk meningkatkan konsentrasi mereka, bahkan dijadikan minuman untuk mencapai kemabukan spiritual (spiritual drunkenness) ketika mereka meneriakkan nama Tuhan. Pada tahun 1414, kopi sudah sampai di Mekah dan pada awal 1500-an kopi telah menyebar ke Mesir melalui pelabuhan Yaman Mocha. Pada saat itu kopi masih identik dengan Sufi, dan pada saat itu beberapa kedai kopi tumbuh di Kairo di sekitar Universitas al Azhar.

Dengan sejarahnya yang cukup panjang di dunia Arab, tak mengherankan jika kopi dan kafe menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Arab termasuk para pemikir, sastrawan, mistikus, dan bahkan politisi. Misalnya di Mesir, di sana terdapat banyak kafe yang digunakan oleh para pemikir, sastrawan, dan politikus salah satunya adalah kafe Al-fisyawi. Dalam majalah Fikr Al-tsaqafah (Asyhur Al-maqahi Al-adabiyah Al-alamiyah) disebutkan bahwa, kafe Al-fisyawi adalah salah satu kafe populer tertua di Kairo. Kafe tersebut telah berusia hampir tiga ratu tahun. Ia didirikan oleh Fahmi Fishawi pada tahun 1760.
Selama beberapa dekade, kafe Al-fisyawi telah menjadi “sarang” penulis, penyair, seniman, filosof, dan intelektual seperti Najib Mahfuz, Yusuf Siba’i, Yusuf Idris, Ali Abdullah Saleh, dan Ihsan Abdul Quddus. Dari kalangan pejabat juga ada mantan Presiden Aljazair Abdel aziz Bouteflika, mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Anwar Sadat, dan Gamal Abdul Nasir dan bahkan juga dari kalangan pemikir dunia seperti filosof eksistensialis Jean-Paul Sartre dan pacarnya Simone de Beauvoir dan masih banyak lainnya pernah menyeruput kopi di Al-fisyawi.

Kafe dan kopi menjadi semacam magnet yang mampu menyatukan semua kalangan masyarakat sehingga tidak mengherankan banyak terjadi transformasi pikiran di dalamnya. Misalnya, bagi Najib Mahfudz sendiri kafe adalah semacam tempat untuk mencari ide dan alur cerita karya sastranya yang kemudian hari menjadi fakta-fakta kemanusiaan yang mampu menciptakan transformasi sosial masyarakat mesir pada saat itu. Kafe baginya adalah miniatur masyarakat karena di dalamnya masyarakat berkumpul dengan semangat egalitarianisme.

Pertubuhan gerakan IkhwanulMuslimin (IM) juga berasal dari kafe-kafe yang berseliweran tumbuh bak jamur di jantung kota Mesir, Kairo. Melihat banyaknya kafe dan terbukanya pemikiran individu ketika  menyeruput kopi, membuat Hasan Al-banna mengubah sasaran dakwahnya ke kafe-kafe yang ada. Pada akhirnya IkhwanulMuslimin menjadi gerakan yang besar dan dikenal sebagai gerakan Neo-panislamisme yang dibawa oleh Jamaluddin Al-afghani, Imam Muhammad Abduh, dan Syekh Rasyid Ridha.

Oleh sebab itu, kafe menjadi semacam momok bagi penguasa yang anti kritik dan hendak melanggengkan status quo-nya. Kopi dan kafe yang awalnya hanya berkaitan dengan pikiran mistis telah berkembang dan merambah berbagai pikiran kesusastraan, keagamaan, politik, sosial dan budaya. Di Mesir kafe sempat dianggap tempat yang mengganggu eksistensi kekuasaan pemerintah karena kencangnya arus transformasi pikiran yag ada di dalamnya. Kafe Riche adalah kafe yang ditutup oleh pemerintah. Hal itu disebabkan karena pada tahun 1972 dari Kafe Riche lahir terdapat seruan dari intelektual dan sastrawan yang mengkritisi pemerintah Sadat. Dengan penutupan tersebut, masyarakat yang ingin berkunjung untuk membahas persoalan sastra, budaya dan politik dapat dihalangi.

Dalam hal ini, dikutip dari Majalah Al-iqtishodiyyah (Maqahi Al-mutsaqqafin Al-arab) Habermas percaya bahwa rahasia kopi dan efek kafe dalam kehidupan budaya terletak pada karakteristik spasial kafe sebagai ruang sosial baru. Di kafe individu dapat bertemu dan berkumpul dengan pola yang terbebas dari kontrol lembaga sosial tradisional terutama keluarga, negara dan masyarakat sipil.


Kafe menjadi ruang yang komprehensif karena ia ternyata menjadi tempat yang netral yang terbebas dari sistem subordinasi, kekuasaan, dan kepentingan ekonomi. Pendapat Habermas tentang kafe barangkali sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Tetapi, paling tidak melalui pendapatnya kita dapat tahu bagaimana bentuk kafe yang ideal yang mampu melahirkan pikiran-pikiran cemerlang yang menyentuh berbagai lini kehidupan, yaitu kafe yang menjunjung tinggi semangat egaliter dan keterbukaan berpikir yang tidak dikontrol oleh kepentingan kekuasaan dan ekonomi.

*Disarikan dari Adab Al-arab dengan penambahan seperlunya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar