Senin, 14 November 2022

DI ATAS KERETA MENUJU ALEKSANDRIA


 “Maaf... Anda ingin ke mana?” Tanya Pria itu

“Ke Alekdsandria.” Jawabku

“Tujuan kita sama!”

“Senang bisa berangkat bersama Anda.”

Ia membuat kekesalanku reda. Mau tak mau saya harus membuang kekecewaan dan menampakkan wajah yang ceria, lupa akan kejengkelanku yang mengubun-ubun gara-gara trem yang saya tumpangi dari Kattamea ke Terminal Sayyeda Aesha terjebak macet di Wathaniyah. Akibatnya saya tiba di stasiun selepas kereta ekslusif berangkat tiga puluh satu menit lalu. Keadaan memaksaku untuk menumpang kereta kelas ekonomi ini—setelah kutimbang-timbang demi menghemat pengeluaran, di samping agar tak menunggu lama untuk kereta eksklusif selanjutnya yang akan berangkat tiga jam lagi. Jam menunjukkan pukul 08. 37 menit, stasiun Ramsies semakin ramai sehingga saya cepat-cepat ambil antrean membeli tazkarah—karcis, seharga 7 Guineh Mesir lalu memasuki kereta. Saya mengambil tempat duduk di gerbong keempat dari belakang di dekat jendela. Tak berapa lama saya duduk keluarga itu datang disusul seorang gadis yang berada di sampingku.

“Namamu siapa?”

“Muhammad.” Jawabku

“Anda?”

“Saya Sabri,” suaranya menyeruak di tengah desakan orang dan mesin kereta tua yang ribut, “ini istri dan anak saya, Fatma dan Jumana,” anak kecil itu—usianya barangkali tak lebih dari lima tahun taksirku, melambaikan tangan ke arahku. Saya membalasnya dan mengatakan bahwa ia cantik sekali—senyumnya mengembang malu-malu di pangkuan ayahnya.  Selama di atas kereta, pandanganku banyak disita oleh Jumana ketimbang pemandangan di luar jendela—tatapannya yang bersinar-sinar tak menghakimiku, maksudku, tak sinis dengan adanya saya sebagai orang asing di tengah-tengah mereka. Seperti ayah dan ibunya—yang kemudian bercerita banyak tentang kehidupan pribadi dan keluarganya sepanjang perjalanan.

Sabri lahir dan besar di kompleks perumahan Jalan Muiz Li Dini-l-Lah kota tua Fatimiyah. Ayahnya wirausahwan penggemar berat karya-karya Abbas al Aqqad sejak kecil, menurut pengakuannya, ia disuguhi bacaan-bacaan sastra yang memadai dan kelak menjadikannya bagian dari surat kabar tertua di Afrika, Al-Ahram. Meski ibunya—pensiunan pegawai pemerintah, lebih menginginkannya jadi seorang ilmuwan islam ketimbang jurnalis. Harapan ibunya seperti keinginan para ibu di Mesir kala itu, ia ingin anaknya jadi ulama kebanggaan orang Mesir mengikuti jejak Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi. Tetapi sejak kecil ia telah terpesona dengan Abbas al-Aqqad dan ketika ia memutuskan untuk jadi wartawan, ibunya berkata bahwa itu juga pekerjaan yang mulia asal Sabri melakoninya dengan sepenuh hati untuk berbuat baik kepada sesama.

Empat tahun jadi wartawan ia sering bertemu Fatma di acara-acara jurnalis, mereka berkenalan lalu menikah. “Muhammad, ada tiga keindahan Alexandrea yang tak akan kau jumpai di kota manapun di dunia,” saya penasaran dan ia melanjutkan, “sejarahnya yang merajut peradaban-peradaban dunia, kotanya yang indah, dan perempuannya yang cantik.” Saya tertawa. Suasana akrab diantara kami pun terus berlanjut sehingga kami membicarakan perihal yang berserpih-serpih di atas laju kereta yang melewati provinsi demi provinsi. Dan kalau boleh saya katakan, percakapan kami semestinya terjadi di sebuah kafe atau di ruang tengah keluarga atau di tengah taman kota, bukan di tempat umum apalagi di atas kereta ini.   

“Kamu orang Indonesia?”

“Sulawesi.” Jawabku

“Negara baru?” Saya tertawa

“Kapan merdeka? Sulawesi bagian Indonesia, bukan?” tanyanya.

“Maksud saya, saya orang Indonesia tapi tinggal di pulau Sulawesi.”

“Saya kira begitu, saya tak pernah mendengar Sulawesi ingin pisah dari Indonesia. Kecuali Aceh dan Papua.” Dalam hal ini ia menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang jurnalis.

“Tak sepenuhnya, hanya sebagian dari mereka ingin berpisah.”

“Benar, lazimnya ada propoganda. Provokator .....!”

“Kalau Kamu sendiri?” Saya tertawa lagi

“Maksudnya Sulawesi merdeka? Belum terpikirkan.” Ia tertawa

“Buat apa ingin merdeka kalau kau sudah berada dalam kemerdekaan? Maksud saya, mengejar janji kemerdekaan yang abu-abu lantas meninggalkan kemerdekaan yang sudah jelas kau nikmati.”

“Tak sepenuhnya merdeka. Makanya, ada sebagian yang menuntut kemerdekaan.” Lalu saya menggiring pembicaraan kepada hal yang lebih enteng, saya tak sanggup mendengar kuliah kemerdekaan darinya sepagi ini. “Anda menikmati pekerjaan Anda?”

“Mau tak mau?”

“Maksudnya?”

“Agak sulit menggambarkannya, Kawan! Karena di Mesir, ada batasan-batasan kebebasan pers.” Saya tidak terkejut, seperti kemerdekaan, kebebasan yang ia maksud juga tergantung-gantung di antara langit dan bumi, hampir dan tak hampir dicapai  dan senantiasa diperdebatkan.

Seorang beragama yang baik adalah warga negara yang baik.