Ketika seorang Muslim mempergunjingkan Arab dengan segala keburukan
yang meluap dari kepalanya. Tidakkah ia menghiraukan perasaan Nabinya yang
notabene lahir di Tanah Arab, bermoyang Arab, bertumpah darah dan berbudaya
Arab, berkerabat dan bersahabat orang Arab? Bagaimana ia bisa mengabaikan
perasaan Junjungannya sementara ia begitu mendewakan ego kesukuannya dan
mematok harga mati bagi kehormatan tanah airnya sendiri sebetapapun berjubel
keburukan yg tersemai di dalamnya.
Ketika kita memahami kemana sebenarnya gagasan Islam Nusantara itu
dibidikkan, maka sungguh patutlah kita bertanya tentang apa yang sebenarnya
hendak diperjuangkan dengan Islam Nusantara. Keluhuran Kalimatullah dan
tegaknya Sunnah Rasulullah ataukah hanya membanggakan kemegahan leluhur nenek moyang
dan ketenaran budaya kita?
Paskah penetapan Indonesia sebagai Negara Muslim yang ”katanya”
memiliki toleransi beragama yang tinggi dibantu dengan adanya Pancasila dan
secarik kertas genggaman garuda tertulis “Berbeda-beda tapi tetap satu” dalam
sidang PBB tempo lalu. Kiranya telah membuat sekelompok organisasi besar negara
kita dengan tergopoh-gopoh menawarkan Islam Nusantara sebagai sebab intinya.
Mereka dengan seenak hati mengatakan “Islam datang dari Arab dan
besar di Arab. Sedangkan zaman ini adalah masa fitnah dan lahirnya Islam
Nusantara demi menangkal fitnah tersebut. Dimana Islam Arab-lah yang membuat
orang senang berperang dan bertikai dengan sesama, maka orang Arab mesti
belajar Islam Nusantara agar bisa hidup rukun seperti bangsa kita.”
Kemudian menghiasi sebuah konsep yang masih “prematur” tersebut
dengan Islam yang toleransi, berperadaban, berkebudayaan dan berakhlak.
Mengambil sampel setengah masak bahwa Islam hadir di Indonesia dengan jalan
damai atas kesadaran sendiri tanpa menerukan lebih lanjut jalannya sejarah.
Mendengar itu kita pun bertanya, Islam yang bagaimana yg dianut
oleh bangsa Arab? Apakah ajarannya berbeda dengan Islam yang dianut warga
Nusantara?
Jika benar bangsa Arab merupakan bangsa yang kurang berbudaya dan
beradab akibat menelan ajaran yang kurang sempurna dari sisi adab kemanusiaan,
maka ini sungguh merupakan tudingan yang jelas-jelas menyesatkan dan termakan buku-buku
karya para orientalis.
Kita ingat, sejarah peradaban manusia tak pernah sunyi dari
pertikaian antar sesama terjadi di setiap periode generasi dan di segenap
penjuru negeri. Bukan hanya di zaman lampau namun juga di masa kini. Bukan
hanya di gurun sahara namun juga di lautan dan di gunung yang penuh hutan
belantara. Bukan sekadar di deretan negeri khatulistiwa namun juga di tepian
kutub utara, yang mana tragedi pertumpahan darah juga ramai menghiasi dan
menjejali lembaran sejarah Nusantara tanpa terkecuali.
Jika kita menengok lembaran sejarah kelam Nusantara mulai era
kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya di Sumatera, kerajaan Kutai Martadipura di
Kalimantan, kerajaan Tarumanegara dan Mataram Hindu di bawah wangsa Sanjaya dan
Syailendra di Jawa, lalu bersambung dengan kerajaan Medang dan Kahuripan yang
kemudian terpecah menjadi Janggala Singasari dan Panjalu Kadiri dan terakhir
menjelma menjadi Majapahit, kemudian berlanjut dengan era kerajaan Islam
seperti Samudera Pasai di Aceh dan Demak di Jawa yg melahirkan raja-raja
Mataram Islam , hingga berikutnya masuk ke era pemerintahan modern sedari orde
lama hingga orde reformasi. ternyata lembar demi lembar sejarah Nusantara menyimpan
seabrek prestasi pembunuhan kejam perebutan tahta, pembunuhan Ulama,
pembantaian rakyat sipil dan lain-lain.
Bahkan belum lama berlalu dari ingatan kita tragedi saling bantai di
Maluku, Sambas, Sampit dan Poso yang begitu merindingkan bulu kuduk kemanusiaan
karena teramat mengerikan, belum lagi tragedi berbau anyir darah di berbagai
wilayah seperti tragedi Mei 98, perang antar desa di banyak daerah, tawuran
pelajar yg marak di berbagai kota ... dsb...dsb ...
Dengan menyimak tragedi pembantaian manusia yang terjadi antar
sesama anak bangsa di bumi Nusantara yang begitu memilukan ini. Adakah kita
lantas mengatakan ajaran leluhur kita bisa menjadi solusi? atau barangkali
Pancasila kita belum sepenuhnya sakti untuk bisa menangkal kesemuanya?
Mengapa ketika persengketaan dan pergesekan berdarah itu terjadi di
hamparan gurun Arabia, lantas kita dengan teganya menjadikan Islam yg dipeluk
oleh orang Arab sebagai kambing hitamnya. Kurang ketimuranlah, kurang
tasamuhlah, kurang tawasuthlah. sehingga kemudian kita dengan tergopoh-tergopoh
menawarkan solusi Islam Nusantara, yang padahal bumi Nusantara juga tak kunjung
sepi dari tragedi serupa.
Sungguh solusi yang kurang cerdas untuk digagas. Barangkali gelar
”Islam paling moderat” yang dilabelkan para kuffar dalam sidang PBB membutakan
mata kita sehingga seenaknya menohok apa yang menjadi kecintaan Nabimu?
أحبوا العرب لثلاث : لأنني عربي، وكلام أهل الجنة عربي، والقرآن الكريم باللغة العربية
"Cintailah Arab karena tiga hal; karena aku seorang Arab,
percakapan penduduk Surga adalah (bahasa) Arab dan al-Quran al-Karim
(diturunkan) dengan bahasa Arab".
حب العرب من الإيمان وبغضه نفاق
"Mencintai Arab sebagian dari iman, sedangkan membencinya
merupakan sifat kemunafikan."
Jika anggapan yang begitu keji disematkan pada Islam Arab dan
berusaha mengukuhkan Islam sebagai referensi baru dalam berislam yang moderat
tapi bila terjadi kekisruhan dikalangan nusantara mereka akan jauh-jauh mengais
referensi dari kalangan Ulama Arab. Tidak bisakah kalian konsisten dengan
merujuk referensi-referensi hasil karya Ulama nusantara saja. Karena kalian
sendiri yang mengajukan Islam Nusantara sebagai standar kemoderatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar