Senin, 09 April 2018

Ketika Bersyair Adalah Sebuah Dosa

Puisi memiliki roh yang mampu merasuki setiap jiwa pendengarnya. Sama halnya menyanyi, menari, yang merupakan bentuk ungkapan jiwa.

Puisi tidak selalu bergerak sendiri, karena di dalamnya ada sebuah pendalaman empiris yang diselami dan menggenapi pemaknaan realitas. ia (puisi) menerjemahkan segala ketidak mampuan realitas yang dirasa perlu untuk diungkapkan.

Lahirnya puisi "Ibu Indonesia" yang dibacakan pada pembukaan kongres IV PDIP oleh mantan Presiden Republik Indonesia, Ibu Sukmawati soekarnoputri. Adalah satu dari sekian banyak puisi yang menggambarkan realitas manusia dan kehidupan semesta. Yang harus dan perlu untuk kita refleksikan bersama. Karena aku yakin puisi "Ibu Indonesia" tidak sekedar lahir hanya untuk menyentuh hati pendengarnya. Atau sekedar unjuk diri dengan penggunaan diksi yang tidak biasa.
Ia (puisi) yang tajam, baik ditilik dari segi kultur, kebangsaan dan kebhinekaan.

Dari segi kultur Ibu Mega seakan ingin mengatakan bahwa inilah budaya kita yang mulai tergerus dari masa ke masa. Dimana ketika konde diharamkan. Wanita-wanita dalam perkumpulan ormas islam terbesar yang dulunya berani tampil dalam kongres kebangsaan ataupun keislaman dengan konde dan kebaya kini mulai tergantikan dan menganggap tabu menampilkannya.  Kita semua menyaksikannya. Ketika busana adat mulai dituduh dosa. Ketika wayang dan tari-tari rakyat mulai disebut sesat. Ketika orang-orang semakin bangga membenci saudara sebangsa dan membunuh budayanya sendiri. Mungkinkah Islam di Nusantara kelak bisa memproduksi ekspresi keagamaannya sendiri yang khas Indonesia dan percaya diri? Sekaligus menjaganya kedepan?

Dari segi kebangsaan dia bukanlah orang yang baru dalam pentas kebangsaan. Ayahnya adalah seorang bapak proklamator. Penyeru paham nasionalisme ditiap sudut Indonesia. Dengan PNI (partai nasional Indonesia) membawa partai ayahnya yang berpaham nasionalis sebagai partai keanggotaan terbesar di Indonesia. Tentunya hal itu mengakar dalam sukmawati kecil ketika itu. Dia tau betul apa itu jati diri kebangsaan. Dan puisinya adalah secercah harapan agar ada yang tersisa bagi generasi kedepannya.

Masih lekat di genggaman sang garuda lambang negara kita. Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu. Kata-kata yang dinukil dari Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Seakan ia ingin mengatakan ini adalah Kebhinekaan. Berkaca dari kejadian-kejadian di Indonesia yang berada dalam titik nadir krisis Kebhinekaan. Pembakaran masjid di tolikara, penutupan paksa gereja di aceh, peruntuhan paksa patung dewa Kwang kwong di kudus. Yang ia tuangkan kegelisahan itu dalam puisi “ibu Indonesia”

Salahkah Puisi itu?

Sebuah pertanyaan yang seharusnya di jawab dalam perpekstif sastra dan tanpa membenturkannya dengan politik ataupun Islam. Dimana tafsir puisi "Ibu Indonesia" dijadikan senjata politis dan senjata keagamaan untuk membunuh pikiran manusia yang kecanduan birahi politis dan semangat keislaman yang tidak mendasar. Bagaimana mungkin puisi yang merupakan penyelaman atas realitas manusia dan bangsa itu (harus) dipenjarakan?

Puisi-puisi yang dilatar belakangi dan memiliki naluri ke-Indonesia-an sangatlah dibutuhkan dewasa ini. Karena dengan puisi aksara itu menjadi lebih berarti. Karena dengan puisi dapat menyentuh palung hati.

Pada akhirnya, saya acungkan jempol untuk Ibu Sukmawati Soekarno Putri dan puisi "Ibu Indonesia" yang lahir dari Rahim kepekaan pengalaman yang telah menyaksikan perjalanan bangsa ini hingga Abad milenia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar