Tapi hal ini mungkin tak berlaku bagi mereka yang hidup di tengah-tengah kota metropolitan, di mana mesin menderu tak kenal henti. Tempat tinggal saya, persis berada di depan sebuah jalan yang tak pernah sepi. Diseberang rumah saya ada Gereka Katolik yang tiap malam tidak sepi dengan nyanyian kidung agung dan dentingan lonceng di subuh hari.
Mengharapkan malam tanpa suara bagi saya serasa tanpa alasan, innosense.
Setiap malam, truk-truk kian menderu, mengangkut pasir dari kongsi dagang entah dari mana dan hendak diantarkan kemana.
Lantas bagaimana saya hendak mengimani lailatul qadar?
Malam boleh tak pernah tidur, suara-suara tak pernah mungkin pulang pada sepi, dan siang dan malam hanya dipisah oleh ingatan. Namun ketenangan hati, sesuatu yang kadang tak perlu dijelaskan, selalu mampu memberikan bisu itu. Bagi orang awam seperti saya, alangkah susah untuk menemukan ilham bahwa malam ini adalah malam seribu bulan. Maka perkaranya ialah soal tebak-menebak, seperti isyarat dari Al-Ghazali: “Jika puasa jatuh tanggal sekian, maka lailatul qadar tanggal sekian.” Tapi toh orang awam seyogyanya sadar diri: jika kalian tak tahu persis kapan lailatul qadar, ibadahlah tiap malam. Mungkin, lailatul qadar justru adalah sesuatu yang diciptakan. Mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar