Minggu, 28 Oktober 2018

Telisik Hadis Bendera Nabi, Upaya Untuk Menyanggah

Sejak kejadian pembakaran bendera tauhid di Garut beberapa hari lalu, saya tertarik untuk menelusuri lebih dalam tentang bendera hitam dalam kitab-kitab Hadis. Prof. Nadirsyah Hosen sebagai bahan bedah dari saya (selanjutnya akan saya ganti dengan kata pengganti penulis) sebenarnya sudah punya tulisan mengenai masalah ini, tapi kurang mantap rasanya jika tidak ber-ijtihad sendiri dan cuma mengandalkan tulisan orang. Sebagai seorang pelajar saya berusaha untuk mencari juga, lagi pula kesimpulan Prof. Nadir bahwa semua hadits yang berkaitan dengan panji hitam adalah hadis-hadis lemah saya rasa kurang tepat.

Berikut point-point yang bisa saya simpulkan:
                                                                                  
1. Warna Bendera Rasulullah Saw
Semasa hidupnya, Rasulullah Saw memiliki banyak bendera, yang terdiri dari beberapa bendera besar (Ar-Rayah) dan bendera kecil (Al-Liwa'). Syekh Yusuf Bin Ismail an-Nabhani dalam kitab Syamail-nya menyebutkan:

ﻛﺎﻧﺖ ﺭﺍﻳﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﻭ ﻟﻮﺍﺀﻩ ﺍﺑﻴﺾ
" bendera besar (Rayah) Rasulullah Saw berwarna hitam, sedangkan bendera kecilnya (liwa') berwarna putih "

Sayyid Muhammad al-Maliki dalam Tarikhul Hawadits berkata:
ﻭ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺭﺍﻳﺔ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ ﻭ ﺃﺧﺮﻯ ﺻﻔﺮﺍﺀ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺳﻨﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ ﻭ ﺃﺧﺮﻯ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ
" Rasulullah Saw memiliki bendera hitam yang dinamakan "Al-Uqob", beliau juga memiliki bendera berwarna kuning seperti keterangan dalam Sunan Abu Dawud, satu lagi bendera beliau yaitu panji berwarna putih yang dinamakan "Az-Zinah"

Dari sini bisa kita ketahui bahwa Rasulullah Saw memiliki beberapa bendera dan juga warna yang berbeda-beda, bukan melulu hitam saja. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar bendera-bendera itu digunakan dalam waktu yang berlainan.
(entah kenapa gerombolan radikal seperti ISIS, Al-Qaeda dll lebih memilih warna hitam dari pada warna Royah Rasulullah lainnya. kuning misalnya? Hemat saya karena warna hitam terlihat lebih galak, seram dan sangar, menunjukkan identitas mereka sebagai kelompok  radikal).

Dalam konteks ini harusnya penulis ingat dalam mustholah Hadits ada qaidah:

الجمع بين الروايات أولى من إهمال
“Bahwa riwayat yang banyak itu menguatkan satu sama lain”

Bahkan kalau ada yg sampai tingkatan syahid atau mutabi' bisa merubah hadits yg dhoif jadi Hasan lighoirih, hasan jadi Shohih Lighoirih. Ini poin yang perlu difahami.

Dan perbedaan warna tidak menafikan satu sama lain, karena sangat mungkin Rosulullah saw punya beberapa Bendera semasa Kerasulannya.

dan warna apapun yang dipakai diantara riwayat-riwayat tersebut, selama riwayatnya masih bisa diambil maka dia telah mengambil salah satu dari warna yang ada pada Rasulullah saw. Dan bendera  hitam termasuk bendera Nabi Saw.

Hadis-Hadis tentang warna Royah dan Liwa' memiliki derajat yang tak sama, ada pula satu hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang berlainan. Hadis Riwayat al-Hakim yang disebut an-Nabhani diatas memang lemah, bahkan ada yang menyebutnya sebagai hadis Munkar, hanya saja itu tidak menafikan adanya hadis-hadis lain yang berderajat hasan bahkan shahih seperti riwayat Imam Tirmidzi:

ﻛﺎﻧﺖ ﺭﺍﻳﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﻣﺮﺑﻌﺔ ﻣﻦ ﻧﻤﺮﺓ ﻗﺎﻝ
ﺳﺄﻟﺖ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻓﻘﺎﻝ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ
“Bendera Nabi Saw itu hitam persegi panjang terbuat dari Namirah (kain yang bergaris hitam putih yang terbuat dari wol dan sejenisnya). Imam Bukhari mengomentai ini hadis hasan”.

Dan dalam Sunan Abu Dawud dihukumi Sahih (Hadis No. 2224, Kitab Jihad, Bab rayah).

2. Tulisan dalam bendera Rasulullah Saw
Hanya ada satu hadits menurut penulis yang menyatakan panji hitam Rasulullah Saw bertuliskan kalimat tauhid, itupun dihukumi dhoif  yaitu hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Al-Thabrani dalam kitab Al-Kabir, Abu Assyaikh dalam kitab Al-Akhlaq (153), dan Al-Haitsami dalam Majma' Az-Zawaid (5/321). yang berbunyi:

ﻛﺎﻧﺖ ﺭﺍﻳﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﻣﻜﺘﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
"Royah Rasulullah Saw berwarna hitam bertuliskan La Ilaha Ilallah Muhammadun Rasulullah"
Hadits yang diriwayatkan Abu Assyaikh dinyatakan lemah sanadnya oleh Ibnu Hajar, sedangkan Al-Haitsami mengomentari hadits yang diriwayatkannya: "semua perawi-nya shahih kecuali Hayyan Bin Abdillah"

Dan penulis dalam hal ini mengakui dan pastinya meletakkan gelar prof-nya di pancung guillotine yang dengan berani menegaskan bahwa hanya satu riwayat yang menunjukkan bahwa Bendera Nabi ada tulisan kalimat tauhid ditengahnya!?

Saya tanggapi ini kesimpulan yang sangat terburu-buru dalam Ilmu Hadis, seakan-akan penulis telah melakukan Hashr (pembatasan). Padahal sulit sekali melakukan Hashr dalam hadits karena banyaknya Mashodir Haditsiyyah apalagi dari segi periwayatan yang banyak dan juga dari ilmu rijal al-hadits yang begitu banyak perawi.

Sedangkan kalau kita lihat dalam kitab Nizhom al-Hukumah al-Nabawiyah (al-Tartib al-Adariyah) halaman 266 “Bahwa bendera Nabi Saw tertulis kalimat La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah”

Dan saya yakin akan masih ada banyak lagi hadis tentang ini jika saya mengkaji lagi,tapi saya hanya mendatangkan satu saja sebagai bentuk tanggapan penulis.

3. Fungsi Bendera (Ar-Rayah dan Al-Liwa') di zaman Rasulullah Saw.
Pertama-tama kita menyampingkan makna kalam khabar dari ulasan ulama tentang pengertian Liwa' dan Rayah yang menyatakan bahwa keduanya adalah simbol pasukan perang yang kemudian hanya boleh dipakai dalam perang, dalam kata lain saya sebagai atribut perang semata, yang kemudian diinterpretasi juga oleh penulis menjadi HANYA BOLEH dipergunakan ketika perang, dan tidak boleh di kibarkan, dibawa, diarak ketika dalam keadaan damai. maka ini merupakan sebentuk pemahaman yang berlebihan, tak ubahnya seperti berlebihannya memahami hadits berikut ini:

جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا
" Telah dijadikan bumi bagiku sebagai Masjid yang suci "
Yang kemudian dipahami sbb: "Bumi ini HANYA KHUSUS untuk masjid"

Atau sebagaimana penyimpangan pemahaman terhadap ayat berikut ini :
وجعلنا من الماء كل شيءٍ حي
"Dan Kami jadikan setiap makhluk hidup dari air"
Yang lantas dipahami bahwa semua makhluk hidup itu HANYA DICIPTAKAN dari air!!!

Lagi pula, perunjukan kalam khabar yang memuat Liwa' dan Rayah baik dalam hadis maupun ta'rif para ulama, tidaklah menunjuk makna perintah maupun makna larangan, yang mana khabar itu disampaikan atas dasar kesaksian urf atau adat kebiasaan yg tengah berlaku kala itu.

Apalagi jika ditilik qaidah ushul yg berbunyi:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”
Maka penggunaan liwa' dan rayah karena tidak ada dalil sharih satu pun yang melarang penggunaannya untuk kondisi selain peperangan, maka berdasar qaidah diatas mesti diperkenankan.

Kedua, kondisi sosial politik di masa Nabi tentu berbeda dgn kondisi sosial politik umat Islam di zaman sekarang dimana dewasa ini umat Islam tersekat dlm aturan kenegaraan dan tradisi kemasyarakatan yang berlainan, yang mana kondisi tadi menggiring mereka untuk saling menunjukkan eksistensi kebangsaan & kefirqahan mereka dengan segenap kemudahan fasilitas yang mereka miliki di sembarang tempat dan kondisi yang mereka ingin termasuk pada even-even yang tidak prinsipil dalam sudut pandang syariat sekalipun seperti pada upacara ceremonial, peringatan hari besar, atau karnaval keliling di jalanan.

Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana umat yang sedemikian bisa diperbolehkan dan bahkan diharuskan untuk mengibarkan bendera yang menjadi simbol primordial bagi kebangsaan dan perkumpulan masing-masing? sementara bendera Tauhid yang pancaran spiritnya sanggup menyatukan hati segenap kaum mukminin di seluruh dunia justru dilarang dan dipandang sebagai barang haram di bumi Sang Empu Kalimat Tauhid itu sendiri.

Kemudian penulis mengatakan bahwa bendera tauhid hanya digunakan sewaktu di medan perang saja.
Memang bendera tersebut sering digunakan saat perang, namun yang menjadi masalah apakah ada larangan untuk dikibarkan diluar perang?

Kita ingat kaedah:
ألأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”

Selama tidak ada larangan berarti tidak dilarang, apalagi kalau niatnya meninggikan kalimat Tauhid. Sesuatu yang mubah kan bisa mendapatkan pahala dengan niat yang baik.

Kalau anda mengatakan dilarang karena Nabi Saw tidak melakukan itu. Berarti apa bedanya Anda dengan Wahabi yang mengatakan bahwa maulid tidak boleh karena tidak dilakukan Nabi saw, Tahlil tidak boleh karena tidak dilakukan Nabi Saw, berarti anda LARI DARI WAHABI MENJADI WAHABI

Apalagi ulama besar hadits Al-Hafidz Abdul Hay al-Kattani meriwayatkan bahwa Nabi Saw kibarkan bendera itu saat fathul makkah, padahal Fathul Makkah tidak dalam keadaan perang.

Dan Bendera HTI ada tulisan Hizbuttahrir Indonesia dan kalau bendera Tauhid tidak ada. Andaikatapun ada bendera HTI, maka silahkan guting tulisan HTI-nya, lalu muliakan tulisan tauhidnya. Lagi pula, kapolri sudah menegaskan yang dilarang itu bendera HTI, bukan bendera tauhid.

END

Minggu, 07 Oktober 2018

Kopi, Kafe, dan Pergolakan Pemikiran

Kafe memang tempat yang nyaman untuk berkumpul dan bersantai. Di sana kita bisa menjernihkan pikiran dan suasana hati bersama orang-orang terdekat seperti kawan, kerabat, dan bahkan kolega. Suasana di kafe dibangun dengan suasana yang inklusif sehingga setiap pengunjung dapat mencurahkan hati dan pikirannya kepada kawannya dan disana kita dapat menambah teman baru atau sekedar bertemu dengan orang-orang baru.

Namun, perlu diketahui bahwa ternyata kafe tidak sebatas tempat berkumpul. Kafe ternyata telah menjadi tempat yang sangat vital untuk bertukar pikiran. Sebab, kafe merupakan tempat yang sarat dengan semangat egaliter. Bahkan, terkadang, pikiran-pikiran yang muncul dan bertransformasi di dalamnya pun adalah pikiran-pikiran yang segar dan revolusioner. Dikutip dari National Public Radio (How Coffee Influenced The Course Of History), organisasi media yang bertugas sebagai sindikasi bagi radio penyiaran publik di Amerika Serikat mengungkapkan, bahwa kafe ternyata memiliki andil yang sangat signifikan di dalam perumusan pikiran-pikiran yang menghasilkan peristiwa-peristiwa bersejarah dan fakta-fakta kemanusiaan. Hal itu disebabkan karena kopi mampu membuat orang berpikir dan kafe merupakan tempat yang egaliter sehingga fakta kemanusiaan dan peristiwa penting seperti Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika direncanakan di kafe atau kedai kopi.

Tak hanya di Eropa, ternyata kopi dan kafe telah lebih awal dikenal di dunia Arab. Kopi sebagai minuman pertama kali dipopulerkan oleh orang-orang Arab. Biji kopi dari Abessinia dibawa para pedagang Arab ke Yaman dan mulai menjadi komoditas komersial. Meski demikian, keberadaan kopi, sebagaimana di Eropa, di dunia Arab tidak sebatas minuman kopi. Kopi di dunia Arab juga menjadi entitas yang telah ikut andil dalam melahirkan berbagai pikiran mulai dari sufisme, politik, sastra dan pikiran-pikiran lainnya.

Dikutip dari BBC (Coffee and Qahwa: How a drink for Arab mystics went global), penanaman kopi paling awal adalah di Yaman dan orang-orang Yaman menamainya qahwa, yang sebenarnya berarti anggur. Para Sufi di Yaman menggunakan kopi untuk meningkatkan konsentrasi mereka, bahkan dijadikan minuman untuk mencapai kemabukan spiritual (spiritual drunkenness) ketika mereka meneriakkan nama Tuhan. Pada tahun 1414, kopi sudah sampai di Mekah dan pada awal 1500-an kopi telah menyebar ke Mesir melalui pelabuhan Yaman Mocha. Pada saat itu kopi masih identik dengan Sufi, dan pada saat itu beberapa kedai kopi tumbuh di Kairo di sekitar Universitas al Azhar.

Dengan sejarahnya yang cukup panjang di dunia Arab, tak mengherankan jika kopi dan kafe menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Arab termasuk para pemikir, sastrawan, mistikus, dan bahkan politisi. Misalnya di Mesir, di sana terdapat banyak kafe yang digunakan oleh para pemikir, sastrawan, dan politikus salah satunya adalah kafe Al-fisyawi. Dalam majalah Fikr Al-tsaqafah (Asyhur Al-maqahi Al-adabiyah Al-alamiyah) disebutkan bahwa, kafe Al-fisyawi adalah salah satu kafe populer tertua di Kairo. Kafe tersebut telah berusia hampir tiga ratu tahun. Ia didirikan oleh Fahmi Fishawi pada tahun 1760.
Selama beberapa dekade, kafe Al-fisyawi telah menjadi “sarang” penulis, penyair, seniman, filosof, dan intelektual seperti Najib Mahfuz, Yusuf Siba’i, Yusuf Idris, Ali Abdullah Saleh, dan Ihsan Abdul Quddus. Dari kalangan pejabat juga ada mantan Presiden Aljazair Abdel aziz Bouteflika, mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Anwar Sadat, dan Gamal Abdul Nasir dan bahkan juga dari kalangan pemikir dunia seperti filosof eksistensialis Jean-Paul Sartre dan pacarnya Simone de Beauvoir dan masih banyak lainnya pernah menyeruput kopi di Al-fisyawi.

Kafe dan kopi menjadi semacam magnet yang mampu menyatukan semua kalangan masyarakat sehingga tidak mengherankan banyak terjadi transformasi pikiran di dalamnya. Misalnya, bagi Najib Mahfudz sendiri kafe adalah semacam tempat untuk mencari ide dan alur cerita karya sastranya yang kemudian hari menjadi fakta-fakta kemanusiaan yang mampu menciptakan transformasi sosial masyarakat mesir pada saat itu. Kafe baginya adalah miniatur masyarakat karena di dalamnya masyarakat berkumpul dengan semangat egalitarianisme.

Pertubuhan gerakan IkhwanulMuslimin (IM) juga berasal dari kafe-kafe yang berseliweran tumbuh bak jamur di jantung kota Mesir, Kairo. Melihat banyaknya kafe dan terbukanya pemikiran individu ketika  menyeruput kopi, membuat Hasan Al-banna mengubah sasaran dakwahnya ke kafe-kafe yang ada. Pada akhirnya IkhwanulMuslimin menjadi gerakan yang besar dan dikenal sebagai gerakan Neo-panislamisme yang dibawa oleh Jamaluddin Al-afghani, Imam Muhammad Abduh, dan Syekh Rasyid Ridha.

Oleh sebab itu, kafe menjadi semacam momok bagi penguasa yang anti kritik dan hendak melanggengkan status quo-nya. Kopi dan kafe yang awalnya hanya berkaitan dengan pikiran mistis telah berkembang dan merambah berbagai pikiran kesusastraan, keagamaan, politik, sosial dan budaya. Di Mesir kafe sempat dianggap tempat yang mengganggu eksistensi kekuasaan pemerintah karena kencangnya arus transformasi pikiran yag ada di dalamnya. Kafe Riche adalah kafe yang ditutup oleh pemerintah. Hal itu disebabkan karena pada tahun 1972 dari Kafe Riche lahir terdapat seruan dari intelektual dan sastrawan yang mengkritisi pemerintah Sadat. Dengan penutupan tersebut, masyarakat yang ingin berkunjung untuk membahas persoalan sastra, budaya dan politik dapat dihalangi.

Dalam hal ini, dikutip dari Majalah Al-iqtishodiyyah (Maqahi Al-mutsaqqafin Al-arab) Habermas percaya bahwa rahasia kopi dan efek kafe dalam kehidupan budaya terletak pada karakteristik spasial kafe sebagai ruang sosial baru. Di kafe individu dapat bertemu dan berkumpul dengan pola yang terbebas dari kontrol lembaga sosial tradisional terutama keluarga, negara dan masyarakat sipil.


Kafe menjadi ruang yang komprehensif karena ia ternyata menjadi tempat yang netral yang terbebas dari sistem subordinasi, kekuasaan, dan kepentingan ekonomi. Pendapat Habermas tentang kafe barangkali sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Tetapi, paling tidak melalui pendapatnya kita dapat tahu bagaimana bentuk kafe yang ideal yang mampu melahirkan pikiran-pikiran cemerlang yang menyentuh berbagai lini kehidupan, yaitu kafe yang menjunjung tinggi semangat egaliter dan keterbukaan berpikir yang tidak dikontrol oleh kepentingan kekuasaan dan ekonomi.

*Disarikan dari Adab Al-arab dengan penambahan seperlunya