Sabtu, 31 Desember 2022

CATATAN TAHUN 2022

Malam tahun baru di Jayapura sangat hingar, Kembangapi sudah dibakar jauh sebelum dua jarum menunjukkan pukul 00:00, benar-benar fantantis! 30 menit sebelum nya saya sudah berada dipinggir jalan poros utama kota Jayapura, dekat dengan pertigaan, karena disinilah pusat Sebagian besar kembang api akan diledakkan. 

 

Selepas itu, saya kembali ke kamarku, menerka ulang, membongkar ingatan sepanjang 2022. Walaupun itu tidaklah sulit karena Sebagian besar ada ditiap lembaran buku catatanku, dan di file-file laptop.

 

Januari 2022 adalah bagaimana kuperjuangkan gelar S1, hampir tujuh tahun untuk sekelas sarjana itu terlalu lama, walaupun bisa dimaklumi karena kesibukan diluar kuliah, kerja yang memaksaku tidak di Kairo, organisasi, dan jalan-jalan sana sini. 

Februari balik ke Indonesia, perjalanan bisnis dan sekalian jalan-jalan. Pertama kalinya ke Tana Toraja, pertama kalinya ke Bulukumba. Februari dan Maret adalah kenangan yang indah. 

 

April kembali ke Kairo, kembali fokus dengan organisasi yang mulai menjamur di tubuh mahasiswa Indonesia di Mesir. Mengisi buletin, guide, dan lain-lain. Tapi diantara semuanya yang paling saya senangi, adalah metime kesendirian dalam kamar berukuran 5x4 meter, menuliskan kisah yang tak berujung, menulis fiksi dan nonfiksi, membiarkan pikiran terbang menjauh, raga terperangkap dalam kamar tapi pikiranku melalang buana sejauh ketikan jari yang tidak mau berhenti. Jika tidak ada kegiatan, lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kamar, sesekali ke luar untuk belanja keperluan mingguan. April-juni sepertinya itu-itu saja, kurang berkesan.

 

Masuk Juni mulai berwarna, gadis mahasiswi di Worchester, Boston. Hadir entah takdir apa yang direncanakan Tuhan. Siang-malamku adalah dirinya. Merajut komitmen, terbatasi jarak yang akhirnya bertemu di akhir Agustus. 

 

Agustus, bulan kelahiranku, awalnya adalah ujian yang berat. Tapi pertengahannya melegakan, secara resmi telah menyelesaikan kuliahku, artinya sudah saatnya balik ke Indonesia. Meninggalkan kenangan yang tidak terlupakan di negri Piramid. Akhir agustus balik ke Indonesia. Kairo-Doha-Jakarta-Batam-Makassar-Jayapura. Perjalanan dengan durasi 12 hari. Melelahkan? Tidak juga. Saya menikmatinya. Keliling Jakarta, temu kangen dengan dia di Batam, menghadiri pelantikan om menjadi ketua hakim di Makassar, Menjalin Kerjasama bisnis dengan Panrita Golla, owner gula are nasal Bulukumba, sharing kopi dan pembudidayaan kopi dengan salahsatu barista Bone, menghadiri pernikahan sepupu, nostalgia di pondok, bertemu teman dan guru, dan lain-lain. Berlansung dari akhir Agustus-September pertengahan. 

 

Pertengahan September adalah tantangan, untuk pertama kalinya saya akan terjun di dunia Pendidikan sebagai pengajar, yang selama ini saya adalah pelajar. Cukup rumit, karena tidak biasa dan parahnya yang dihadapi adalah anak-anak. Selama ini hanya bergerak sebagai pengisi kegiatan, atau menjelaskan secara lapangan, atau diskusi saja, semua yang kupelajari tidak cocok untuk disampaikan buat anak-anak dibawah 10 tahun. Tantangan terberat diamanahkan yang sebenarnya dari awal saya sudah pesimis, tapi tetap dipaksakan, hasilnya bisa ditebak, GAGAL! Cukup membuat sedih, pengalaman pertama dan gagal. Tapi tidak sepenuhnya gagal, akhirnya saya banting setir untuk hal yang lain. Mulai mengisi Bahasa arab, privat sana sini, kajian, Imam dan lain-lain. Ini berlansung dari September-Desember dan akhirnya pohon yang kutanamkan sedikit demi sedikit mulai tumbuh dan berbuah. Melegakan.

 

Tapi dalam periode 4 bulan ini, dia harus jauh, bukan secara komunikasi, tapi secara iman, kondisi memaksanya untuk meninggalkan apa yang dianut, saya tidak menyalahkan, tapi sejak saat itu kami pisah, dengan memberikan semuanya pada takdir, dan sampai kini saya masih berharap jika tidak dapat seseorang maka saya akan mengembalikan imannya dengan ijab-kabul. 

 

Catatan ini kutulis, untuk mengingatkan rentang waktu, bahwa hidup akan selalu maju, butuh untuk mendikte kembali, untuk lebih baik ke depannya. Jam 03:03 WIT, 1 Januari 2-23, saya akan memulai hal baru, apa gerangan yang terjadi, tantangan, halangan, ujian, cobaan, hanya Tuhan yang tau, hanya berusaha memainkan peran dengan berusaha membuat panggung, bukan dengan mengikuti arus. Mungkin sesekali perlu, karena idealism sedikit terbuang percuma di kota Jayapura ini. (END).


Senin, 14 November 2022

DI ATAS KERETA MENUJU ALEKSANDRIA


 “Maaf... Anda ingin ke mana?” Tanya Pria itu

“Ke Alekdsandria.” Jawabku

“Tujuan kita sama!”

“Senang bisa berangkat bersama Anda.”

Ia membuat kekesalanku reda. Mau tak mau saya harus membuang kekecewaan dan menampakkan wajah yang ceria, lupa akan kejengkelanku yang mengubun-ubun gara-gara trem yang saya tumpangi dari Kattamea ke Terminal Sayyeda Aesha terjebak macet di Wathaniyah. Akibatnya saya tiba di stasiun selepas kereta ekslusif berangkat tiga puluh satu menit lalu. Keadaan memaksaku untuk menumpang kereta kelas ekonomi ini—setelah kutimbang-timbang demi menghemat pengeluaran, di samping agar tak menunggu lama untuk kereta eksklusif selanjutnya yang akan berangkat tiga jam lagi. Jam menunjukkan pukul 08. 37 menit, stasiun Ramsies semakin ramai sehingga saya cepat-cepat ambil antrean membeli tazkarah—karcis, seharga 7 Guineh Mesir lalu memasuki kereta. Saya mengambil tempat duduk di gerbong keempat dari belakang di dekat jendela. Tak berapa lama saya duduk keluarga itu datang disusul seorang gadis yang berada di sampingku.

“Namamu siapa?”

“Muhammad.” Jawabku

“Anda?”

“Saya Sabri,” suaranya menyeruak di tengah desakan orang dan mesin kereta tua yang ribut, “ini istri dan anak saya, Fatma dan Jumana,” anak kecil itu—usianya barangkali tak lebih dari lima tahun taksirku, melambaikan tangan ke arahku. Saya membalasnya dan mengatakan bahwa ia cantik sekali—senyumnya mengembang malu-malu di pangkuan ayahnya.  Selama di atas kereta, pandanganku banyak disita oleh Jumana ketimbang pemandangan di luar jendela—tatapannya yang bersinar-sinar tak menghakimiku, maksudku, tak sinis dengan adanya saya sebagai orang asing di tengah-tengah mereka. Seperti ayah dan ibunya—yang kemudian bercerita banyak tentang kehidupan pribadi dan keluarganya sepanjang perjalanan.

Sabri lahir dan besar di kompleks perumahan Jalan Muiz Li Dini-l-Lah kota tua Fatimiyah. Ayahnya wirausahwan penggemar berat karya-karya Abbas al Aqqad sejak kecil, menurut pengakuannya, ia disuguhi bacaan-bacaan sastra yang memadai dan kelak menjadikannya bagian dari surat kabar tertua di Afrika, Al-Ahram. Meski ibunya—pensiunan pegawai pemerintah, lebih menginginkannya jadi seorang ilmuwan islam ketimbang jurnalis. Harapan ibunya seperti keinginan para ibu di Mesir kala itu, ia ingin anaknya jadi ulama kebanggaan orang Mesir mengikuti jejak Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi. Tetapi sejak kecil ia telah terpesona dengan Abbas al-Aqqad dan ketika ia memutuskan untuk jadi wartawan, ibunya berkata bahwa itu juga pekerjaan yang mulia asal Sabri melakoninya dengan sepenuh hati untuk berbuat baik kepada sesama.

Empat tahun jadi wartawan ia sering bertemu Fatma di acara-acara jurnalis, mereka berkenalan lalu menikah. “Muhammad, ada tiga keindahan Alexandrea yang tak akan kau jumpai di kota manapun di dunia,” saya penasaran dan ia melanjutkan, “sejarahnya yang merajut peradaban-peradaban dunia, kotanya yang indah, dan perempuannya yang cantik.” Saya tertawa. Suasana akrab diantara kami pun terus berlanjut sehingga kami membicarakan perihal yang berserpih-serpih di atas laju kereta yang melewati provinsi demi provinsi. Dan kalau boleh saya katakan, percakapan kami semestinya terjadi di sebuah kafe atau di ruang tengah keluarga atau di tengah taman kota, bukan di tempat umum apalagi di atas kereta ini.   

“Kamu orang Indonesia?”

“Sulawesi.” Jawabku

“Negara baru?” Saya tertawa

“Kapan merdeka? Sulawesi bagian Indonesia, bukan?” tanyanya.

“Maksud saya, saya orang Indonesia tapi tinggal di pulau Sulawesi.”

“Saya kira begitu, saya tak pernah mendengar Sulawesi ingin pisah dari Indonesia. Kecuali Aceh dan Papua.” Dalam hal ini ia menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang jurnalis.

“Tak sepenuhnya, hanya sebagian dari mereka ingin berpisah.”

“Benar, lazimnya ada propoganda. Provokator .....!”

“Kalau Kamu sendiri?” Saya tertawa lagi

“Maksudnya Sulawesi merdeka? Belum terpikirkan.” Ia tertawa

“Buat apa ingin merdeka kalau kau sudah berada dalam kemerdekaan? Maksud saya, mengejar janji kemerdekaan yang abu-abu lantas meninggalkan kemerdekaan yang sudah jelas kau nikmati.”

“Tak sepenuhnya merdeka. Makanya, ada sebagian yang menuntut kemerdekaan.” Lalu saya menggiring pembicaraan kepada hal yang lebih enteng, saya tak sanggup mendengar kuliah kemerdekaan darinya sepagi ini. “Anda menikmati pekerjaan Anda?”

“Mau tak mau?”

“Maksudnya?”

“Agak sulit menggambarkannya, Kawan! Karena di Mesir, ada batasan-batasan kebebasan pers.” Saya tidak terkejut, seperti kemerdekaan, kebebasan yang ia maksud juga tergantung-gantung di antara langit dan bumi, hampir dan tak hampir dicapai  dan senantiasa diperdebatkan.

Seorang beragama yang baik adalah warga negara yang baik.

Minggu, 22 September 2019

Imam Muhammad Abduh Tokoh Pembaharu Pan-Islamisme

   Siapa yang tidak mengenal tokoh al-Azhar ini, namanya diabadikan sebagai nama Auditorium di area kampus Universitas al-Azhar. Imam Muhammad Abduh punya peran penting dalam memainkan gerakan pembaharuan Islam pada fase awal kebangkitan Islam.
   Banyak Pemikir Islam mencoba menyusun sebuah formula dari Abad berapa seruan pembaharuan islam dimulai, salah satunya adalah Ahmad Amin dalam kitabnya Zu’ama’ Al-Ishlah fi Ashr Al-Hadits. Ahmad Amin merilis 10 tokoh pembaharu yang dimulai dari Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan diakhiri oleh Sayyid Rasyid Ridha.
   Tokoh pembaharu ini diantaranya dari Mesir: Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Imam Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha. Dari Syam, Abdurrahman al-Kawakibi, Syakib Arselan. Dari Maghrib, Khairuddin al-Tunisi, Syekh Tahir ibnu Asyur. Dari India, Muhammad Iqbal, Sayyid Amir Khan.
   Ideologi yang dibangun oleh para tokoh pembaharu berporos pada beberapa poin yang kemudian poin-poin tersebut menjadi dasar ideologi seruan kebangkitan Islam. Ideologi gerakan pembaharuan yang kita kenal dengan gerakan pan-islamisme.
   Bahkan seruan Jamaluddin al-Afgani sampai menyentuh bumi nusantara. Sebuah surat dari KH.Basuni Imran dari Banjar menuliskan surat kepada Syekh Rasyid Ridha. “Limadza Taakkhoro Muslimuna Wa Taqaddama Goirohum?”
   Untuk  menjelmakan konsep dan ideologi di atas serta menyuntikkannya ke dalam nalar Umat Islam, sang pelopor kebangkitan Jamaluddin al-Afghani  membentuk suatu gerakan underground yang dinamakan Urwatul Wutsqo ketika beliau bermukim di Paris. Gerakan yang lansung diketuai oleh Jamaluddin al-Afghani dan diwakili oleh Muhammad Abduh. Nah, dari sinilah Imam Muhammad Abduh memulai langkah awal menyerukan kebangkitan Islam.
   Pada awalnya gerakan ini hanya beranggotakan para tokoh yang terhimpun dalam Hizbu al-Wathon al-Hur yang porak poranda dihantam oleh Kerajaan Mesir karena keterlibatan dalam Revolusi Orabi Tahun 1881, namun gerakan ini mampu menyebar dan menjalar di Timur-Tengah. Maka tidak salah kalau gerakan ini memiliki jaringan yang rapih dan kuat.
   Untuk memperkuat jaringannya, Afgani membentuk Majalah Urwatul Wutsqa sebagai lisan dari gerakannya. Melalui majalah ini Afghani dan Abduh mampu menyampaikan ide-ide pembaharuannya kepada para tokoh pembaharu yang tersebar di dunia islam.
   Setelah penjajah mampu menyadap penyebaran majalah urwatul wutsqa dan menyadari bahayanya bagi eksistensi gerakan imperialisme barat terhadap dunia islam, maka seketika itu membredelnya dengan penuh arogan.
 Sekembalinya ke Mesir, Muhammad Abduh merubah konsep pembaharuannya dari tsaurah (revolusi) ke ishlah (reformasi).
   Seketika itu, Abduh melakukan pembaharuan di tiga Lembaga Islam tertinggi di Mesir, pertama al-Azhar, kedua, Mahkamah Hukum Islam, ketiga, Kementrian Agama.
   Tapi semua usaha beliau itu mendapatkan tantangan keras baik dari kalangan tradisionalis yang ketika itu mendominasi al-Azhar, atau dari pihak Hudaiwi Taufik dan kaum nasionalis seperti Musthafa Kamil yang menganggapnya loyal kepada penjajah, hingga akhirnya semua berakhir kegagalan.
   Kegigihan Imam Muhammad Abduh dalam proyek pembaharuan telah berhasil mengetuk hati Syekh Rasyid Ridha untuk datang ke Mesir berbaiat dan mengabdikan diri kepadanya bersama-sama memperjuangkan proyek kebangkitan itu. Sejak di Thoroblus, Syekh Rasyid Ridha merupakan Ulama yang banyak terpengaruh oleh Majalah Urwatul Wutsqa, beliau banyak menyerap pemikiran kebangkitan dan pembaharuan dari majalah yang didirikan Afghani dan Abduh itu. Oleh karena itu, ide yang beliau ajukan kepada Muhammad Abduh untuk mewujudkan cita-cita kebangkitannya adalah mendirikan suatu majalah yang mampu membangunkan naluri kebangkitan dalam jiwa masyarakat islam, yang ia sebut Majalah al-Manar.
   Atas restu Muhammad Abduh, al-Manar pun terbit menggantikan posisi Urwatul Wutsqa yang kemudian menjadi satu-satunya lisan gerakan kebangkitan yang gaungnya menggema dari langit Tunisia sampai ke langit Indonesia. Al-manar menjadi madrasah pembaharuan yang mampu membentuk nalar nalar pada Aktivis Islam pada periode kedua, ketiga dan seterusnya. Meletakkan dasar-dasar kebangkitan, menyuguhkan konsep pembaharuan, menjelaskan bagaimana pandangan islam tentang kemajuan, pembaharuan dan kebangkitan.

Referensi: 

Zu’ama’ Al-Ishlah fi Ashr Al-Hadits.
Tayarot Fikri Islami
At thoriq Ila Yaqozoh Islamiyah
Al-Islam Wa At Tahadiyat Al Hadhori
Al-A’mal Al-Kamila Lil Imam Asy-Syekh Muhammad Abduh

Sabtu, 31 Agustus 2019

Hierophany dan Profan

 "Maka tatkala Musa mendatanginya (ke tempat api itu) dia dipanggil. "Wahai Musa! Sungguh Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karna sesungguhnya engkau berada di lembah suci Thuwa." (Q.S. Taha:12)

Kutipan ayat suci tadi menjelaskan bahwa ruang/dunia tidaklah homogen, tetapi selalu berubah seiring expriences (pengalaman) yang mempengaruhinya. Ada beberapa bagian dari ruang yang berbeda secara kualitatif dari yang lainnya, dan ini dinamakan ruang yang sakral. Sedangkan dalam pengalaman profan (kebalikan dari sakral) ruang adalah homogen dan netral, tidak ada perbedaan kualitatif yang membedakan antara satu bagian dengan yang lain.

Dalam buku The Sacred And The Profane The Nature Of Religion sakral diperkenalka oleh Mircea Eliade dengan kata Hierophany. Lawan dari hierophany adalah profan itu sendiri.

Dalam sejarahnya, hierophany dan profan adalah dua kutub expriences (pengalaman) tersebut dalam ruang. Setiap ruang yang sakral berimplikasi menjadi sebuah hierophany, dan ruang yang tidak sakral itu berimplikasi dengan yang profan, yang umumnya terjadi pada masyarakat non-religius

Ka’bah misalnya, dalam kepercayaan agama Islam Ka’bah bukanlah seonggok batu semata. Walaupun disatu sisi Ka’bah sampai saat ini hanyalah seonggok batu, tapi disisi lain tak seorang pun dari Umat Islam yang religius akan beranggapan sesederhana itu, semuanya bermula dari satu hierophany yang teramat cepat. Yaitu ketika orang islam meyakini  Ka’bah itu disentuh oleh sakral maka objek yang profan itu berubah. Objek itu bukan hanya sekadar batu, tapi sebuah objek suci dan menakjubkan, karena didalam terkandung yang sakral/hierophany.

Dan Salib misalnya, walaupun objeknya hanyalah sebuah kayu yang disilangkan secara vertikal dan horizontal, tapi karena bersinggungan dengan yang diyakini sebagai hierophany, maka Salib bukan hanya sekadar kayu, tapi ada nilai kesakralan di dalamnya.

Jika penganut agama Islam merasa heran melihat bagaimana penganut agama Kristen memperlakukan Salib, maka coba bayangkan bagaimana herannya umat Kristiani melihat umat Muslim memperlakukan batu, mengelilinginya tujuh kali, lalu menciumnya.

Secara historis manusia memiliki sistem-sistem kredo yang sakral untuk mengatur kehidupan yang religius ini. Seperti misalnya Menurut Eliade dalam bukunya Cosmos And History The Myth Of The Eternal Return masyarakat arkais (archaic) ketika ingin membangun perkampungan mereka tidak serta-merta memilih sembarang tempat. Ada tiga yang dikemukakan Eliade yaitu:

1. Gunung yang disakralkan dimana dianggap sebagai pertemuan antara langit dan bumi yang menggambarkan sebagai pusat dunia. Mengambil sisi hierophany sebagai tolak ukur dimana perkampungan itu akan dibangun.
2. Kuil dan kota yang disakralkan, setelah perluasan perkampungan di sekelilingnya, maka setiap kuil, perkampungan dan kediaman kerajaan adalah tempat suci sehingga menjadi pusat.
3. sebagai axis (poros) mundi, dianggap sebagai titik pertemuan antara bumi dan langit.

Berdasarkan ketiga hal inilah maka manusia religius akan lahir. Biasanya titik pusat yang sakral dari kosmos ini ditandai dengan berbagai tanda untuk melambangkan titik pusat tersebut. Tanda-tanda tersebut juga bisa berbentuk pohon atau gunung seperti poin di atas. Alasan kenapa ini sangat disakralkan oleh masyarakat terutama masyarakat Arkais (archaic) adalah karena tanda-tanda tersebut bukan hanya sebagai pusat perkampungan, melainkan juga berfungsi sebagai axis mundi (pusat dunia). Dia merupakan poros utama, tiang penyangga, tempat kehidupan berputar.

Seperti dalam mitologi India Gunung Meru adalah pusat/poros dari dunia, dalam kepercayaan Iran, Gunung Haraberazaiti (Harburz) adalah pusat dari dunia, Gunung Tabor dan Gerizim adalah pusat dunia, dalam kepercayaan Kristen, Gunung Golghota adalah pusat dunia, sejumlah populasi Buddha di Laos, Utara Siam, Thailand, meyakini Gunung Zinnalo sebagai pusat dunia, dalam kepercayaan Jawa, Indonesia, Candi Borobudur adalah image of the cosmos dan dibangun layaknya sebuah gunung (ziggurat), dalam kepercayaan Islam Ka’bah adalah pusat dari dunia.

Kaitannya dengan axis mundi ini, kisah tentang “Tangga Jakob” sangat cocok untuk mendeskripsikan model ini. tempat dimana ia menemukan Axis Mundi, sebuah titik dimana seseorang menemukan tangga sakral penghubung  bumi, tempat bertemunya dua hal yang berlawanan: Yang Sakral dan Yang Profan.
Ketika Jacob dalam mimpinya di Haran melihat tangga yang menjulang ke langit (surga) persis dari batu yang ia jadikan bantal. Tangga itu dilalui oleh para malaikat yang naik, dan ia mendengar Firman Tuhan kepadanya: "Akulah Tuhan, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak" ia terbangun sembari ketakutan dan menangis:”Sungguh seram tempat ini”, gumamnya. tempat ini tidak lain adalah Rumah Tuhan dan pintu gerbang menuju Surga. Setelah itu ia menyusun batu-batu menjadi seperti tangga dan menuangkan minyak di atasnya. Ia menyebut tempat itu dengan Beth-el (Rumah Tuhan)"(Kejadian pasal 28:12-19).

Batu yang disusun itu sebagai sebuah simbol implikasi untuk mengekspresikan “pintu surga”. Ketika sebuah tempat menjadi objek sakralisasi, maka ia bukan sebagai objek yang disucikan, namun sebagai hierophany, yaitu manifestasi dari yang sakral.

Yerusalem menjadi Axis Mundi bagi Umat Islam karena disitulah Muhammad singgah sebelum menuju langit (Surga). Sebagai tempat pertemuan antara yang sakral dan yang profan.

Selasa, 04 Desember 2018

Implementasi Qiyâs Bayânîy dalam Perundang-undangan

Makna merupakan ‘antonim’ dari rupa. Jika makna hadir sebagai dimensi yang paling dalam dari sesuatu, maka rupa hadir sebagai dimensi terluar dari sesuatu.  Jika rupa hanya terbatas pada apa yang terlihat, maka makna tidak terbatas pada hal itu, sebaliknya, ia merupakan nilai yang luas dan lentur—tidak terbatas. Makna adalah interpretasi dari rupa, sedangkan rupa adalah perwujudan dari makna. Keduanya berkait-kelindan satu sama lain, tidak bisa dipisahkan dan takkan pernah terpisahkan. Ibarat jasmani dan rohani manusia.

Tanpa disadari, kita telah melakukan sebuah analogi pada paragraf di atas. Analogi adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kita, kerap kali kita melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bukan tanpa alasan, analogi hadir sebagai sebuah usaha menyederhanakan sesuatu agar lebih mudah dipahami. Sehingga tak heran, jika pada akhirnya pakar usul fikih (Ushûliyyûn) menjadikannya sebagai metodologi penetapan hukum, atau lebih dikenal dengan konsep qiyâs  (analogi). Bagaimana tepatnya konsep analogi dalam usul fikih? Apakah ada ketentuan khusus di dalamnya, ataukah dengan serta-merta ia bisa dilakukan?

Usul fikih, sebagai metodologi penentuan undang-undang hukum yang bersumber pada naqlî (teks wahyu) dan aqlî (logis-filosofis), menjadikan qiyâs bayânîy atau analogi-eksplikatif sebagai sumber rujukan keempat, setelah kedua teks wahyu; al-Quran dan Sunah, serta Ijma. Qiyâs bayânîy atau analogi-eksplikatif bisa diartikan sebagai usaha membandingkan sesuatu (far’) dengan padanannya (ashl), untuk mendapatkan satu hukum yang sama (hukm al-ashl),  karena adanya satu (atau lebih) titik kesamaan, yaitu ‘illat al-ahkâm (ratio-legis).

Contoh analogi yang paling sering kita dengar dalam usul fikih adalah larangan minum tuak. Ia dianalogikan dengan minum khamr (minuman keras), dengan ‘illah sama-sama memabukkan (iskâr). Dari sini, kita bisa mengetahui empat atribut qiyâs sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya; ashl atau dalam konteks di atas yaitu khamr, kemudian far’ atau tuak, hukum ashl yakni dilarang (haram), dan yang terakhir adalah ‘illah—yang berfungsi untuk memadukan hukum ashl dan hukum far’. Lebih jelasnya, jika kita ibaratkan qiyâs bayânîy dengan kertas segi empat yang mempunyai satu titik temu di tengah-tengahnya, kita akan menjumpai sisi A adalah ashl, sisi B adalah hukm al-ashl, sisi C adalah far’, sedangkan sisi D merupakan hukum far’. Masing-masing sisi tersebut memiliki garis diagonal yang menghubungkan keempatnya dengan satu titik temu di tengah, yaitu ‘illah .‘Illah inilah yang memegang peranan penting, ia berperan sebagai penentu kontekstualisasi hukum. Untuk mencarinya secara akurat, Ushûliyyûn memiliki sebuah metode, yaitu masâlik al-‘illah.

Secara global, masâlik al-illah terbagi menjadi dua; eksplisit (min jihhat al-nuthq) dan implisit (min jihhat al-mafhûm). Eksplisit di sini memiliki arti ‘illat yang lebih dekat dengan teks-teks wahyu (al-Qur’an dan Sunah) serta kesepakatan para yuris (ijma). Sedangkan yang implisit memiliki arti ‘illat yang lebih membutuhkan analisis secara intens. Di bagian implisit ini, ada sebuah metode yang bernama tanqîh al-manâth. Untuk menjalankannya, kita harus melalui dua proses terlebih dahulu, takhrîj al-manâth dan tahqîq al-manâth.

Proses pertama yang harus dilalui dalam metodologi penetapan ‘illah  implisit adalah takhrîj al-manâth.  Proses ini mengharuskan seorang yuris untuk mencari kemungkinan yang paling dekat di dalam penentuan ‘illah. Kemudian proses ini dilanjutkan dengan tanqîh al-manâth. Di tahap ini, sebuah ‘illah difilterisasi, tujuannya untuk menghilangkan ‘illah-‘illah yang dirasa kurang sesuai. Setelah melalui proses filterisasi dan dinyatakan final, sebuah ‘illah baru bisa melewati tahap terakhir, yaitu tahqîq al-manâth. Dalam tahap ini, tentu tidak lagi terkait penentuan ‘illah atau pun filterisasi, akan tetapi lebih kepada penerapan ‘illah terhadap konteks. Sehingga sebuah ‘illah benar-benar hadir sesuai prosedur dan konteks, tentunya.

Dalam konteks keindonesiaan, konsep analogi-eksplikatif juga dapat dijadikan dasar penetapan hukum oleh hakim. Hal ini sesuai dengan UU pasal 27 No. 14 tahun 1970 yang menyebutkan; “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.”  Dalam arti, seorang hakim atau aparat penegak hukum harus kreatif dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan konteks peristiwa (recht vinding), termasuk di dalamnya bisa menggunakan qiyâs atau analogi. Akan tetapi keputusan hakim ini hanya berlaku pada persoalan yang sedang dihadapi, tidak berlaku sebagai peraturan umum, sesuai dengan pasal 1917 (2) KUHP.


Putusan pengadilan dalam hukum pidana yang paling banyak dikutip—berkaitan dengan penerapan analogi, adalah putusan pengadilan tinggi Medan No. 144/Pid/1883/PT.Mdn tanggal 8 Agustus tahun 1983 dengan Ketua Majelis Hakim Bismar Siregar yang mengadili Terdakwa MRS. Meski pada mulanya, penggunaan analogi dalam penetapan hukum pidana menuai pro-kontra—dengan dasar karena bertentangan dengan asas legalitas, sesuai pasal 1 ayat (2) Rancangan KUHP Naskah 2015—namun pada pasal 2 Rancangan KUHP Naskah 2015, konsep analogi eksplikatif mendapatkan momentum legitimasinya. (Dion Valerian, Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia)


Pada akhirnya, penggunaan qiyâs bayânîy atau analogi-eksplikatif dapat diterapkan dalam hukum perundang-undangan. Baik hukum dalam konteks syariat maupun dalam konteks keindonesiaan. Kehadirannya tidak hanya diafirmasi oleh teks-teks wahyu dan ijma, namun kebutuhan manusia untuk menyederhanakan sesuatu atau eksistensi analogi eksplikatif sebagai metode dalam pencarian solusi dari persoalan-persoalan yang terus bermunculan, telah mendorong penggunaan analogi secara intens. Karena interpretasi solusi yang tertuang dalam teks-teks wahyu dan undang-undang tidak akan pernah final. Dengan demikian, mungkin kaidah al-Hukmu Yadûru ma’a ‘Illatihî Wujûdan wa ‘Adaman, akan menemukan momentumnya.

Sumber: Kintaka.co

Minggu, 28 Oktober 2018

Telisik Hadis Bendera Nabi, Upaya Untuk Menyanggah

Sejak kejadian pembakaran bendera tauhid di Garut beberapa hari lalu, saya tertarik untuk menelusuri lebih dalam tentang bendera hitam dalam kitab-kitab Hadis. Prof. Nadirsyah Hosen sebagai bahan bedah dari saya (selanjutnya akan saya ganti dengan kata pengganti penulis) sebenarnya sudah punya tulisan mengenai masalah ini, tapi kurang mantap rasanya jika tidak ber-ijtihad sendiri dan cuma mengandalkan tulisan orang. Sebagai seorang pelajar saya berusaha untuk mencari juga, lagi pula kesimpulan Prof. Nadir bahwa semua hadits yang berkaitan dengan panji hitam adalah hadis-hadis lemah saya rasa kurang tepat.

Berikut point-point yang bisa saya simpulkan:
                                                                                  
1. Warna Bendera Rasulullah Saw
Semasa hidupnya, Rasulullah Saw memiliki banyak bendera, yang terdiri dari beberapa bendera besar (Ar-Rayah) dan bendera kecil (Al-Liwa'). Syekh Yusuf Bin Ismail an-Nabhani dalam kitab Syamail-nya menyebutkan:

ﻛﺎﻧﺖ ﺭﺍﻳﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﻭ ﻟﻮﺍﺀﻩ ﺍﺑﻴﺾ
" bendera besar (Rayah) Rasulullah Saw berwarna hitam, sedangkan bendera kecilnya (liwa') berwarna putih "

Sayyid Muhammad al-Maliki dalam Tarikhul Hawadits berkata:
ﻭ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺭﺍﻳﺔ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ ﻭ ﺃﺧﺮﻯ ﺻﻔﺮﺍﺀ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺳﻨﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ ﻭ ﺃﺧﺮﻯ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ
" Rasulullah Saw memiliki bendera hitam yang dinamakan "Al-Uqob", beliau juga memiliki bendera berwarna kuning seperti keterangan dalam Sunan Abu Dawud, satu lagi bendera beliau yaitu panji berwarna putih yang dinamakan "Az-Zinah"

Dari sini bisa kita ketahui bahwa Rasulullah Saw memiliki beberapa bendera dan juga warna yang berbeda-beda, bukan melulu hitam saja. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar bendera-bendera itu digunakan dalam waktu yang berlainan.
(entah kenapa gerombolan radikal seperti ISIS, Al-Qaeda dll lebih memilih warna hitam dari pada warna Royah Rasulullah lainnya. kuning misalnya? Hemat saya karena warna hitam terlihat lebih galak, seram dan sangar, menunjukkan identitas mereka sebagai kelompok  radikal).

Dalam konteks ini harusnya penulis ingat dalam mustholah Hadits ada qaidah:

الجمع بين الروايات أولى من إهمال
“Bahwa riwayat yang banyak itu menguatkan satu sama lain”

Bahkan kalau ada yg sampai tingkatan syahid atau mutabi' bisa merubah hadits yg dhoif jadi Hasan lighoirih, hasan jadi Shohih Lighoirih. Ini poin yang perlu difahami.

Dan perbedaan warna tidak menafikan satu sama lain, karena sangat mungkin Rosulullah saw punya beberapa Bendera semasa Kerasulannya.

dan warna apapun yang dipakai diantara riwayat-riwayat tersebut, selama riwayatnya masih bisa diambil maka dia telah mengambil salah satu dari warna yang ada pada Rasulullah saw. Dan bendera  hitam termasuk bendera Nabi Saw.

Hadis-Hadis tentang warna Royah dan Liwa' memiliki derajat yang tak sama, ada pula satu hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang berlainan. Hadis Riwayat al-Hakim yang disebut an-Nabhani diatas memang lemah, bahkan ada yang menyebutnya sebagai hadis Munkar, hanya saja itu tidak menafikan adanya hadis-hadis lain yang berderajat hasan bahkan shahih seperti riwayat Imam Tirmidzi:

ﻛﺎﻧﺖ ﺭﺍﻳﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﻣﺮﺑﻌﺔ ﻣﻦ ﻧﻤﺮﺓ ﻗﺎﻝ
ﺳﺄﻟﺖ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻓﻘﺎﻝ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ
“Bendera Nabi Saw itu hitam persegi panjang terbuat dari Namirah (kain yang bergaris hitam putih yang terbuat dari wol dan sejenisnya). Imam Bukhari mengomentai ini hadis hasan”.

Dan dalam Sunan Abu Dawud dihukumi Sahih (Hadis No. 2224, Kitab Jihad, Bab rayah).

2. Tulisan dalam bendera Rasulullah Saw
Hanya ada satu hadits menurut penulis yang menyatakan panji hitam Rasulullah Saw bertuliskan kalimat tauhid, itupun dihukumi dhoif  yaitu hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Al-Thabrani dalam kitab Al-Kabir, Abu Assyaikh dalam kitab Al-Akhlaq (153), dan Al-Haitsami dalam Majma' Az-Zawaid (5/321). yang berbunyi:

ﻛﺎﻧﺖ ﺭﺍﻳﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﻣﻜﺘﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
"Royah Rasulullah Saw berwarna hitam bertuliskan La Ilaha Ilallah Muhammadun Rasulullah"
Hadits yang diriwayatkan Abu Assyaikh dinyatakan lemah sanadnya oleh Ibnu Hajar, sedangkan Al-Haitsami mengomentari hadits yang diriwayatkannya: "semua perawi-nya shahih kecuali Hayyan Bin Abdillah"

Dan penulis dalam hal ini mengakui dan pastinya meletakkan gelar prof-nya di pancung guillotine yang dengan berani menegaskan bahwa hanya satu riwayat yang menunjukkan bahwa Bendera Nabi ada tulisan kalimat tauhid ditengahnya!?

Saya tanggapi ini kesimpulan yang sangat terburu-buru dalam Ilmu Hadis, seakan-akan penulis telah melakukan Hashr (pembatasan). Padahal sulit sekali melakukan Hashr dalam hadits karena banyaknya Mashodir Haditsiyyah apalagi dari segi periwayatan yang banyak dan juga dari ilmu rijal al-hadits yang begitu banyak perawi.

Sedangkan kalau kita lihat dalam kitab Nizhom al-Hukumah al-Nabawiyah (al-Tartib al-Adariyah) halaman 266 “Bahwa bendera Nabi Saw tertulis kalimat La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah”

Dan saya yakin akan masih ada banyak lagi hadis tentang ini jika saya mengkaji lagi,tapi saya hanya mendatangkan satu saja sebagai bentuk tanggapan penulis.

3. Fungsi Bendera (Ar-Rayah dan Al-Liwa') di zaman Rasulullah Saw.
Pertama-tama kita menyampingkan makna kalam khabar dari ulasan ulama tentang pengertian Liwa' dan Rayah yang menyatakan bahwa keduanya adalah simbol pasukan perang yang kemudian hanya boleh dipakai dalam perang, dalam kata lain saya sebagai atribut perang semata, yang kemudian diinterpretasi juga oleh penulis menjadi HANYA BOLEH dipergunakan ketika perang, dan tidak boleh di kibarkan, dibawa, diarak ketika dalam keadaan damai. maka ini merupakan sebentuk pemahaman yang berlebihan, tak ubahnya seperti berlebihannya memahami hadits berikut ini:

جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا
" Telah dijadikan bumi bagiku sebagai Masjid yang suci "
Yang kemudian dipahami sbb: "Bumi ini HANYA KHUSUS untuk masjid"

Atau sebagaimana penyimpangan pemahaman terhadap ayat berikut ini :
وجعلنا من الماء كل شيءٍ حي
"Dan Kami jadikan setiap makhluk hidup dari air"
Yang lantas dipahami bahwa semua makhluk hidup itu HANYA DICIPTAKAN dari air!!!

Lagi pula, perunjukan kalam khabar yang memuat Liwa' dan Rayah baik dalam hadis maupun ta'rif para ulama, tidaklah menunjuk makna perintah maupun makna larangan, yang mana khabar itu disampaikan atas dasar kesaksian urf atau adat kebiasaan yg tengah berlaku kala itu.

Apalagi jika ditilik qaidah ushul yg berbunyi:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”
Maka penggunaan liwa' dan rayah karena tidak ada dalil sharih satu pun yang melarang penggunaannya untuk kondisi selain peperangan, maka berdasar qaidah diatas mesti diperkenankan.

Kedua, kondisi sosial politik di masa Nabi tentu berbeda dgn kondisi sosial politik umat Islam di zaman sekarang dimana dewasa ini umat Islam tersekat dlm aturan kenegaraan dan tradisi kemasyarakatan yang berlainan, yang mana kondisi tadi menggiring mereka untuk saling menunjukkan eksistensi kebangsaan & kefirqahan mereka dengan segenap kemudahan fasilitas yang mereka miliki di sembarang tempat dan kondisi yang mereka ingin termasuk pada even-even yang tidak prinsipil dalam sudut pandang syariat sekalipun seperti pada upacara ceremonial, peringatan hari besar, atau karnaval keliling di jalanan.

Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana umat yang sedemikian bisa diperbolehkan dan bahkan diharuskan untuk mengibarkan bendera yang menjadi simbol primordial bagi kebangsaan dan perkumpulan masing-masing? sementara bendera Tauhid yang pancaran spiritnya sanggup menyatukan hati segenap kaum mukminin di seluruh dunia justru dilarang dan dipandang sebagai barang haram di bumi Sang Empu Kalimat Tauhid itu sendiri.

Kemudian penulis mengatakan bahwa bendera tauhid hanya digunakan sewaktu di medan perang saja.
Memang bendera tersebut sering digunakan saat perang, namun yang menjadi masalah apakah ada larangan untuk dikibarkan diluar perang?

Kita ingat kaedah:
ألأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”

Selama tidak ada larangan berarti tidak dilarang, apalagi kalau niatnya meninggikan kalimat Tauhid. Sesuatu yang mubah kan bisa mendapatkan pahala dengan niat yang baik.

Kalau anda mengatakan dilarang karena Nabi Saw tidak melakukan itu. Berarti apa bedanya Anda dengan Wahabi yang mengatakan bahwa maulid tidak boleh karena tidak dilakukan Nabi saw, Tahlil tidak boleh karena tidak dilakukan Nabi Saw, berarti anda LARI DARI WAHABI MENJADI WAHABI

Apalagi ulama besar hadits Al-Hafidz Abdul Hay al-Kattani meriwayatkan bahwa Nabi Saw kibarkan bendera itu saat fathul makkah, padahal Fathul Makkah tidak dalam keadaan perang.

Dan Bendera HTI ada tulisan Hizbuttahrir Indonesia dan kalau bendera Tauhid tidak ada. Andaikatapun ada bendera HTI, maka silahkan guting tulisan HTI-nya, lalu muliakan tulisan tauhidnya. Lagi pula, kapolri sudah menegaskan yang dilarang itu bendera HTI, bukan bendera tauhid.

END

Minggu, 07 Oktober 2018

Kopi, Kafe, dan Pergolakan Pemikiran

Kafe memang tempat yang nyaman untuk berkumpul dan bersantai. Di sana kita bisa menjernihkan pikiran dan suasana hati bersama orang-orang terdekat seperti kawan, kerabat, dan bahkan kolega. Suasana di kafe dibangun dengan suasana yang inklusif sehingga setiap pengunjung dapat mencurahkan hati dan pikirannya kepada kawannya dan disana kita dapat menambah teman baru atau sekedar bertemu dengan orang-orang baru.

Namun, perlu diketahui bahwa ternyata kafe tidak sebatas tempat berkumpul. Kafe ternyata telah menjadi tempat yang sangat vital untuk bertukar pikiran. Sebab, kafe merupakan tempat yang sarat dengan semangat egaliter. Bahkan, terkadang, pikiran-pikiran yang muncul dan bertransformasi di dalamnya pun adalah pikiran-pikiran yang segar dan revolusioner. Dikutip dari National Public Radio (How Coffee Influenced The Course Of History), organisasi media yang bertugas sebagai sindikasi bagi radio penyiaran publik di Amerika Serikat mengungkapkan, bahwa kafe ternyata memiliki andil yang sangat signifikan di dalam perumusan pikiran-pikiran yang menghasilkan peristiwa-peristiwa bersejarah dan fakta-fakta kemanusiaan. Hal itu disebabkan karena kopi mampu membuat orang berpikir dan kafe merupakan tempat yang egaliter sehingga fakta kemanusiaan dan peristiwa penting seperti Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika direncanakan di kafe atau kedai kopi.

Tak hanya di Eropa, ternyata kopi dan kafe telah lebih awal dikenal di dunia Arab. Kopi sebagai minuman pertama kali dipopulerkan oleh orang-orang Arab. Biji kopi dari Abessinia dibawa para pedagang Arab ke Yaman dan mulai menjadi komoditas komersial. Meski demikian, keberadaan kopi, sebagaimana di Eropa, di dunia Arab tidak sebatas minuman kopi. Kopi di dunia Arab juga menjadi entitas yang telah ikut andil dalam melahirkan berbagai pikiran mulai dari sufisme, politik, sastra dan pikiran-pikiran lainnya.

Dikutip dari BBC (Coffee and Qahwa: How a drink for Arab mystics went global), penanaman kopi paling awal adalah di Yaman dan orang-orang Yaman menamainya qahwa, yang sebenarnya berarti anggur. Para Sufi di Yaman menggunakan kopi untuk meningkatkan konsentrasi mereka, bahkan dijadikan minuman untuk mencapai kemabukan spiritual (spiritual drunkenness) ketika mereka meneriakkan nama Tuhan. Pada tahun 1414, kopi sudah sampai di Mekah dan pada awal 1500-an kopi telah menyebar ke Mesir melalui pelabuhan Yaman Mocha. Pada saat itu kopi masih identik dengan Sufi, dan pada saat itu beberapa kedai kopi tumbuh di Kairo di sekitar Universitas al Azhar.

Dengan sejarahnya yang cukup panjang di dunia Arab, tak mengherankan jika kopi dan kafe menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Arab termasuk para pemikir, sastrawan, mistikus, dan bahkan politisi. Misalnya di Mesir, di sana terdapat banyak kafe yang digunakan oleh para pemikir, sastrawan, dan politikus salah satunya adalah kafe Al-fisyawi. Dalam majalah Fikr Al-tsaqafah (Asyhur Al-maqahi Al-adabiyah Al-alamiyah) disebutkan bahwa, kafe Al-fisyawi adalah salah satu kafe populer tertua di Kairo. Kafe tersebut telah berusia hampir tiga ratu tahun. Ia didirikan oleh Fahmi Fishawi pada tahun 1760.
Selama beberapa dekade, kafe Al-fisyawi telah menjadi “sarang” penulis, penyair, seniman, filosof, dan intelektual seperti Najib Mahfuz, Yusuf Siba’i, Yusuf Idris, Ali Abdullah Saleh, dan Ihsan Abdul Quddus. Dari kalangan pejabat juga ada mantan Presiden Aljazair Abdel aziz Bouteflika, mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Anwar Sadat, dan Gamal Abdul Nasir dan bahkan juga dari kalangan pemikir dunia seperti filosof eksistensialis Jean-Paul Sartre dan pacarnya Simone de Beauvoir dan masih banyak lainnya pernah menyeruput kopi di Al-fisyawi.

Kafe dan kopi menjadi semacam magnet yang mampu menyatukan semua kalangan masyarakat sehingga tidak mengherankan banyak terjadi transformasi pikiran di dalamnya. Misalnya, bagi Najib Mahfudz sendiri kafe adalah semacam tempat untuk mencari ide dan alur cerita karya sastranya yang kemudian hari menjadi fakta-fakta kemanusiaan yang mampu menciptakan transformasi sosial masyarakat mesir pada saat itu. Kafe baginya adalah miniatur masyarakat karena di dalamnya masyarakat berkumpul dengan semangat egalitarianisme.

Pertubuhan gerakan IkhwanulMuslimin (IM) juga berasal dari kafe-kafe yang berseliweran tumbuh bak jamur di jantung kota Mesir, Kairo. Melihat banyaknya kafe dan terbukanya pemikiran individu ketika  menyeruput kopi, membuat Hasan Al-banna mengubah sasaran dakwahnya ke kafe-kafe yang ada. Pada akhirnya IkhwanulMuslimin menjadi gerakan yang besar dan dikenal sebagai gerakan Neo-panislamisme yang dibawa oleh Jamaluddin Al-afghani, Imam Muhammad Abduh, dan Syekh Rasyid Ridha.

Oleh sebab itu, kafe menjadi semacam momok bagi penguasa yang anti kritik dan hendak melanggengkan status quo-nya. Kopi dan kafe yang awalnya hanya berkaitan dengan pikiran mistis telah berkembang dan merambah berbagai pikiran kesusastraan, keagamaan, politik, sosial dan budaya. Di Mesir kafe sempat dianggap tempat yang mengganggu eksistensi kekuasaan pemerintah karena kencangnya arus transformasi pikiran yag ada di dalamnya. Kafe Riche adalah kafe yang ditutup oleh pemerintah. Hal itu disebabkan karena pada tahun 1972 dari Kafe Riche lahir terdapat seruan dari intelektual dan sastrawan yang mengkritisi pemerintah Sadat. Dengan penutupan tersebut, masyarakat yang ingin berkunjung untuk membahas persoalan sastra, budaya dan politik dapat dihalangi.

Dalam hal ini, dikutip dari Majalah Al-iqtishodiyyah (Maqahi Al-mutsaqqafin Al-arab) Habermas percaya bahwa rahasia kopi dan efek kafe dalam kehidupan budaya terletak pada karakteristik spasial kafe sebagai ruang sosial baru. Di kafe individu dapat bertemu dan berkumpul dengan pola yang terbebas dari kontrol lembaga sosial tradisional terutama keluarga, negara dan masyarakat sipil.


Kafe menjadi ruang yang komprehensif karena ia ternyata menjadi tempat yang netral yang terbebas dari sistem subordinasi, kekuasaan, dan kepentingan ekonomi. Pendapat Habermas tentang kafe barangkali sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Tetapi, paling tidak melalui pendapatnya kita dapat tahu bagaimana bentuk kafe yang ideal yang mampu melahirkan pikiran-pikiran cemerlang yang menyentuh berbagai lini kehidupan, yaitu kafe yang menjunjung tinggi semangat egaliter dan keterbukaan berpikir yang tidak dikontrol oleh kepentingan kekuasaan dan ekonomi.

*Disarikan dari Adab Al-arab dengan penambahan seperlunya


Sabtu, 25 Agustus 2018

Salafi Garis Lurus, Adakah? (Part 1)

Berbicara tentang paham salafi (Salafisme) maka yang akan terlintas kemudian dalam benak kita adalah kata wahabi. Seakan-akan salafi dan wahabi adalah dua frasa yang tidak dapat dipisahkan. Kemudian ketika mendengar kata wahabi disebutkan maka yang terlintas kemudian pasti sosok yang berada di baliknya. Yaitu Muhammad Bin Abdul Wahab. Karena beliaulah yang paling bertanggung jawab dibalik munculnya wahabisme.

Bagi umat Islam sendiri, dalam memandang Muhammad bin Abdul Wahab setidaknya ada tiga perspektif yang berkembang di masyarakat muslim. Persepsi pertama memandang beliau sebagai seorang pendiri mazhab kelima disamping empat mazhab yang sudah ada. Yaitu Mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Perspektif kedua bagi sebagian umat Islam yang lain lagi menganggap beliau adalah sosok yang mencetus wahabi sebagai sebuah paham dalam beragama. Perspektif ketiga bagi sebagian umat Islam yang lain lagi menganggap beliau adalah sosok pembaharu Abad ke-19.

Terlepas dari apakah kita memandang sosok beliau dari perspektif pertama, kedua, atau ketiga. Tapi ada baiknya Sebelum kita menghakimi pemikiran sesorang, kita harus tau dulu apa yang membuat Muhammad Bin Abdul Wahab sampai harus mencetuskan mazhab, atau paham keagamaan, atau pembaharuan atas nama wahabisme.

Kenapa perlu ada ulasan seperti ini? Karena ini sangat penting sekali untuk diketahui. Sebuah paham yang muncul dari luar akan mempengaruhi pola pikir dalam hal apapun termasuk keagamaan. Seperti kita ambil contoh kecil perbedaan dalam Qawaid Ushuliyah dalam Istinbath hukum, antara Ahl Al-Hadits di Madinah dan  Ahl Ra’yi di Irak. Perbedaan ini dipicu dari berbagai macam segi.

Dalam kitabnya yang berjudul At Thoriq Ila Al-Yaqozol Ummah seorang pemikir Islam Kontemporer asal Mesir, Syekh Muhammad Imarah. Masih merupakan deretan dari masyayikh Al-Azhar, sekaligus pemimpin Majma’ El-Bohuts Al-Azhar lembaga riset Al-Azhar. Beliau juga merupakan mantan pimpinan redaksi majalah Al-Azhar yang sekarang pimpinan redaksinya Syekh Muhammad Hamdi Zagzug. Di dalam kitabnya menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hal paling mendasar yang menjadi sebab Muhammad Bin Abdul Wahab mencetuskan wahabisme.

Pertama, letak geografis tempat Muhammad Bin Abdul Wahab lahir
Secara geografis territorial, Muhammad Bin Abdul Wahab lahir di wilayahh Hijaz. Wilayah yang jauh dari peradaban. Sehingga menghasilkan diskursus pemahaman islam yang puritan.

Kedua, kondisi sosial keagamaan yang berkembang di kawasan Hijaz ketika itu.
secara sosial keagamaan wilayah hijaz sudah banyak praktek bid’ah dan khurafat sebelum dan sesudah lahirnya Muhammad Bin Abdul Wahab.

Ketiga, geografis pemikiran.
Secara fikih wilayah Hijaz menganut fikih Mazhab Maliki yang lebih tekstual. Dan secara aqidah menganut akidah Mazhab Salafi Ahmad Bin Hambal dan Ibnu Taimiyyah yang sangat fundamental.

Dari ketiga hal ini maka bisa ditarik sebuah konklusi. Bahwa wahabi muncul diakibatkan banyaknya praktek-praktek bid’ah dan khurafat dalam sosial keagamaan (point 2), dan dalam penyelesaian praktek-praktek tersebut rasionalitas tidak dibutuhkan karena secara geografis teritorial memang sudah jauh dari peradaban dan tidak mungkin ada penawaran secara rasional dalam menyikapi praktek-praktek tersebut (point 1), apalagi hal itu juga didukung oleh mazhab yang tekstual dan aqidah yang fundamental yang berakhir pada penyelesaian berdasarkan apa yang tertulis secara nash dalam Al-Quran dan Sunnah (point 3).

Ideologi salafi wahabi ini kemudian dimasukkan dalam kategori salafi tekstual Salafiyah Nushusiyyah oleh Prof. Dr. Ahmad Mahmud Karimah dalam bukunya Kritik Salafi Wahabi. Kemudian ideologi ini dibangun atas prinsip:
  1. Kembali kepada nash yaitu Al-Quran dan Sunnah serta Menolak campur tangan akal didalamnya. Sebagai konsekuensi menolak mashodir tasyri’ ke-4 yaitu qiyas,serta menolak ta’wil dalam memahami nash.
  2. Kembali kepada akidah salafusshalih yang murni dan sesuai dengan ajaran Islam yang asli.
  3. Mengamalkan ibadah hanya pada apa yang menjadi tuntutan Rasul Saw dan membenarkan amal ibadah yang telah disimpangkan oleh praktek bid’ah, khurafat, takhayul.
next...

Selasa, 07 Agustus 2018

Kenapa Harus Mesir, Dan Kenapa Harus Al-Azhar??

Ini adalah cerita yang sebenarnya sudah tersimpan lama sekali dalam file laptop saya. Cerita lama yang sudah berganti-ganti tempat mulai Notebook waktu zaman Aliyah dulu, pindah ke notebook lagi, ke plashdisk, harddisk dan akhirnya ke laptop saya yang sekarang. Cerita ini saya dapatkan setelah membongkar-bongkar file-file lama dan membacanya satu-persatu. Menarik menurut saya. Ternyata seiring waktu penggunaan diksi dalam tulisan saya selalu berubah. Mungkin karena kecendrungan pengaruh bahan bacaan. (hehe.. ^_^ ).
Dan cerita ini saya tulis waktu masih duduk dibangku Aliyah pondok pesantren Darud Da’wah Wal Irsyad Mangkoso, yang sekarang di Mesir saya menjadi ketua Alumni pondok tersebut. Nah kita lansung mulai saja ceritanya.
***
Sebagaimana biasanya anak Aliyah yang akan menyelesaikan jenjang pendidikan dari yang ranahnya sempit ke ranah yang luas dalam hal ini Universitas. Kami lagi semangat-semangatnya memutuskan perguruan tinggi mana yang akan kita pilih melanjutkan studi. Sebagian memilih kuliah di STAI Mangkoso dan mengikuti Kader Ulama, sebagian memilih akan melanjutkan kuliahnya di ibu kota provinsi, Makassar. Dan beberapa juga memilih keluar provinsi seperti ke Jogjakarta, Jakarta. Dan teman saya bahkan ada yang berniat ke Madinah dan Mesir. Menurut saya semua perguruan tinggi bagus. Entah lokal atau interlokal toh semua tergantung kitanya belajar atau tidak.

Saya pribadi jauh hari sudah memutuskan perguruan tinggi mana yang akan saya pinang. Yaitu Universitas Al-Azhar. Bukan karena ikut-ikutan, bukan ingin gaya-gayaan, bukan ingin jalan-jalan. Tapi, semua semata-mata sejarah yang saya lihat dari Mesir dan Universitas Al-Azhar.

Setidaknya ada tiga alasan kenapa saya memilih Mesir dan Al-Azhar.

Pertama, tinjauan sejarah. Kita tahu, Al-Azhar di Mesir bukanlah perguruan pertama yang didirikan dalam dunia Islam. Sebelumnya telah berdiri Madrasah Nabi di era kenabian Nabi Muhammad Saw. Madrasah dengan sistem pendidikan tertutup hanya untuk kalangan umat Islam saja itu dimulai di rumah sahabat Arqam Bin Abu Arqam. Kemudian era Dinasti Umayyah sistem pendidikan mulai terbuka secara umum di Masjid Umawi di Syam. Setelah pusat kekhalifahan berpindah ke Baghdad maka didirikan sebuah maha karya agung yang tidak akan lekang oleh zaman, yaitu Baitul Hikmah yang bahkan menyaingi Madrasah Nizhamiyyah di Syam. Konon Khalifah Al-Ma’mum sampai harus menghabiskan setengah stok harta negara untuk membangun Baitul Hikmah. Dan Al-Azhar ketika itu belum dibangun.
Seiring waktu terjadi agresi yang dilancarkan oleh Jengis Khan dari Bangsa Mongol. Menyapu habis Baitul Hikmah dan menjarah ibu kota kekhalifahan, Baghdad. Para ulama dan ilmuwan terpaksa mengungsi ke Syam. Ternyata penaklukkan Bangsa Mongol yag keji tidak hanya sampai situ. Tapi berlanjut ke Syam. Otomatis semua ulama, ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu mengungsi lagi ke Negri Mesir. Bangsa Mongol pun juga berniat melanjutkan invansi sampai ujung kekhalifahan Dunia Islam. Ketika itu di Mesir adalah masa pemerintahan Dinasti Mamalik dan Al-Azhar telah dibangun. Para alim ulama, ilmuwan dalam berbagai cabang ilmu hanya berharap kemenangan bagi pasukan Mesir melawan tentara Mongol. Jika Mesir hancur maka tidak ada lagi yang mampu membendung tentara jahannam tersebut. Disebuah lembah yang terkenal dengan nama Ain Jalut, dibawah komando panglima Saifuddin Qutuz pasukan Mesir berhasil mengalahkan dan menghentikan invansi Bangsa Mongol. Kemenangan yang dicatat dalam sejarah yang jika seandainya Mesir ditaklukkan. Maka peradaban Islam akan hilang. Mekkah dan Madinah akan rata. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan, Mesir adalah harapan peradaban yang tersisa. Berkumpulnya para alim ulama, ilmuwan, dan hancurnya baitul hikmah membuat mesir menjadi pusat peradaban islam selanjutnya. Dan tentunya Al-Azhar punya peranan penting.

Kedua, dari segi politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Mesir adalah pusat dari semua negara-negara Arab. Itu dimulai dengan gaung pan-arabisme (persatuan Dunia Arab) oleh Presiden pertama Gamal Abdul Nasser. Membuat Mesir menajadi negara yang dihormati di Dunia Arab. Apalagi setelah kemenangan Mesir atas Israel di Manshurah dan merebut kembali Semenanjung Sinai. Yang bahkan pasukan koalisi Dunia Arab tidak mampu mengalahkan Israel.

Ketiga, Mesir sebagai tempat belajar dan berkiprah sejumlah tokoh-tokoh besar Islam, sebutlah Jalamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain. Ketiga tokoh yang sebutkan pertama adalah tokoh-tokoh yang saya kagumi dan membuat saya memilih Mesir dan Al-Azhar sebagai tempat saya belajar berikutnya.

Seorang filosof besar Islam abad ini, Abu Ya’rub Al-Marzuqi, suatu ketika ditanya tentang alasannya melanjutkan kuliahnya di Prancis. Kenapa bukan di negri anda (Tunisia). Kemudian dijawab oleh beliau: “sebenarnya dengan membaca saja telah cukup membuat saya belajar. Tapi, dengan hidup disana (Prancis), tempat filsafat lahir dan tumbuh, belajar dengan manhaj mereka, berguru pada filosof mereka, bergaul dengan masyarakatnya adalah suatu hal yang berbeda”.

Hal yang sama juga saya rasakan. Menonton ”Ketika Cinta Bertasbih”, “Ayat-Ayat Cinta”, ensiklopedia, buku sejarah, mungkin telah membuat saya mengenal Mesir dan Al-Azhar. Namun dengan menginjakkan kaki di Mesir, melihat gundukan pasirnya lansung, duduk diantara tiang-tiang masjid al-azhar yang penuh dengan sejarah, adalah suatu hal yang berbeda dan saya yakin jawabannya sama dengan filosof muslim diatas.


Mungkin itulah alasan saya juga kenapa harus ke mesir. dan dari lantai 5 flat apartemenku. Dari balik jendela. Memandangi bebas Hadiqah Al-Azhar, saya bertekad akan tetap disini sampai selesai, walaupun dengan sistem politik yang otoriter, keadaan negara yang selalu state emergency, sistem pendidikannya yang tidak disiplin, penjambretan terhadap mahasiswa sudah seperti hal yang biasa, tapi saya akan tetap disini. Insyaallah.