Minggu, 25 Maret 2018

Buya Hamka; Tafsir, Tasawwuf, Sastra



Beliau bukan hanya seorang Ulama yang pandai dalam ilmu agama. Tapi juga berkonstribusi dalam dunia sastra. Bukunya pun ada yang menyinggung masalah Tasawwuf dengan judul "Lembaga Kehidupan" dan "Tasawwuf Modern".

Beliau adalah ulama yang kharismatik. Dikenal luas masyarakat Indonesia. Mungkin diantara semua karya beliau yang masyhur adalah Tafsir Al-azhar. Mungkin kalau dianalogikan Buya Hamka sama dengan kharismatiknya Syeikh Mutawalli Sya'rawi di Mesir yang terkenal ramah itu.

Tafsrnya pun di tulis dalam penjara. Hampir sama dengan kondisi Badiuzzaman Sa'id Nursi dengan Tafsir Rasail Nur dan Sayyid Quthb dengan Tafsir Fi Zhilal Qur'an. Bahkan menurut Buya Hamka untuk Tafsir masalah sosio kemasyarakatan di Indonesia. Perkataan beliau "Seandainya Saya tidak di penjara Tafsir Al-azhar tidak akan selesai". Tafsir Beliau dinamakan Al-azhar karena beliau pernah belajar ke Mekkah dan bertemu Syeikh Syaltut Grand Syeikh Al-azhar. Akhirnya beliau menamakannya Tafsir Al-azhar dengan harapan Tafsirnya akan menjadi benih lahirnya generasi Azhari di Indonesia. Ushlub Tafsirnya lebih ke Adab ijtima'i dan Beliau mengakui banyak terpengaruh Rasyid Ridha melalui Tafsir Al-manar.

Hari jumat kemarin tepatnya tanggal 23/3/2018 saya mengulas salahsatu dari karya sastra beliau yang berjudul "Di Bawah Lindungan Ka'bah". Di bawah Lindungan Ka’bah adalah salah satu novel satir beliau. Melalui  novel, beliau mengutarakan keresahan akan beberapa sosio kemasyarakatan yang dinilai bertentangan dengan syariat islam. Dimana tokoh utama tidak diperkenankan menikah anak dari kelas sosial yang berbeda. Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah novel sekaligus kasrya sastra klasik Indonesia yang ditulis oleh haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan Hamka. 

Diterbitkan  pada tahun 1938 oleh Balai Pustaka, penerbit nasional Hindia Belanda.
Menceritakan tentang kisah percintaan antara Hamid dan Zainab yang sama-sama jatuh cinta tetapi terpisah mulai dari karena perbedaan latar belakang sosial. Hingga Zainab yang dihadapkan oleh permintaan Ibunya agar menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan. Pada akhir cerita Hamid memutuskan pergi ke Mekkah dan terus beribadah hingga meninggal di hadapan Ka’bah setelah mengetahui Zainab meninggal.

Novel ini telah diadaptasikan menjadi film sebanyak dua kali, masing-masing dengan judul yang sama pada tahun 1981 dan 2011.

Satire adalah gaya bahasa untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire biasanya disampaikan dalam bentuk ironi, sarkasme, atau parodi. Ironi sindiran halus, sarkasme sindiran keras, parodi sindiran dengan cara lucu.

Hamka adalah muslim asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama.


Hamka banyak membaca karya dari penulis asal Mesir Mustafa Lutfi Al-manfaluti dan karya sastra Eropa yang telah di terjemahkan ke bahasa Arab. Beliau menulisnya di Medan setelah dari Makassar.

Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dalam bentuk singkat dengan gaya bahasa yang sederhana. Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar beranggapan bahwa ini mungkin terjadi karena Hamka mengikuti gaya penulisan yang diwajibkan Balai Pustaka. Sementara ahli dokumentasi sastra Indonesia, H.B. Jassin mencatat bahwa Hamka memiliki gaya bahasa yang "sederhana, tapi berjiwa". Kritikus sastra lainnya, Maman S. Mahayana, Oyon Sofyan, dan Achmad Dian menyebutnya mirip dengan gaya bahasa dari penulis asal Mesir, Mustafa Lutfi al-Manfaluti.

Di Bawah Lindungan Ka'bah memiliki gaya penceritaan yang bersifat didaktis(bersifat mendidik), yang bertujuan untuk mendidik pembaca berdasarkan sudut pandang penulis. Menurut Jassin, Hamka lebih mengedepankan ajaran tentang dasar-dasar Islam dibanding menyinggung tema kemodernan, seperti kebanyakan penulis saat itu, dan mengkritik beberapa tradisi yang menentang Islam.

Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938. Awalnya ditolak karena dianggap akan merusak citra hindia belanda tp karena dianggap hanya mencerminkan dunia islam semata maka bisa lulus sensor dari Balai Pustaka. Hamka kemudian menerbitkan empat novel lain selama berada di Medan, termasuk Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang dianggap sebagai karya terbaiknya.Setelah cetakan ketujuh, novel ini diterbitkan oleh Bulan Bintang.

H.B. Jassin mencatat bahwa Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dengan menarik dan indah. Bakri Siregar menganggap novel ini menjadi cerita yang dikarang dengan baik dan gaya penulisannya yang kuat. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebut bahwa karya Hamka terlalu mementingkan nilai moral dan plotnya bersifat sentimental, ia merasa bahwa novel ini akan mempermudah pembaca Barat mengerti tentang kebudayaan Indonesia pada tahun 1930-an.
Di Bawah Lindungan Ka'bah telah dua kali diadaptasi menjadi film layar lebar. Pertama, film yang dirilis pada 1977 dan disutradarai oleh Asrul Sani berjudul Para Perintis Kemerdekaan dan dibintangi oleh penyanyi dangdut Camelia Malik sebagai Zainab. Adaptasi ini menampilkan perjuangan cinta dua tokoh dengan latar belakanga perjuangan menghadapi kekuatan kolonial Belanda. Film ini meraih kesuksesan, memenangi dua Piala Citra dari enam nominasi pada Festival Film Indonesia 1977.

Adaptasi kedua, dirilis pada 2011 dengan judul Di Bawah Lindungan Ka'bah, disutradarai oleh Hanny R. Saputra dan dibintangi oleh Herjunot Ali sebagai Hamid dan Laudya Cynthia Bella sebagai Zainab. Adaptasi ini berfokus pada cerita percintaan. Meskipun dikritik karena penempatan produk dan perampasan kebebasan artistik yang mencolok, film ini diajukan sebagai perwakilan Indonesia pada Academy Awards ke-84 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik, tetapi tidak berhasil masuk nominasi akhir.

Novel ini sarat dengan nilai agama, sekali lagi Buya Hamka ingin mengkritik bagaimana beberapa kebiasaan adat dinilai konservatif. Misalnya tentang larangan perempuan bersekolah tinggi, dan perkawinan yang ‘dipaksakan’, yang menentukan adalah keluarga, sedangkan calon perempuan hanya bisa menerima.

Hal yang unik saya temukan di novel ini adalah penggunaan dua pemeran utama dengan kata ganti saya dan dia. yang berbeda dari novel-novel dewasa ini. tujuannya adalah untuk menunjukkan nilai pendidikan Islam di dalamnya.

Senin, 26 Maret 2018


Kamis, 22 Maret 2018

Ujian Akhir

Besok adalah ujian akhir yang menentukan selesai dari Markas Lugah. Sebuah lembaga otonomi di bawah naungan Universitas Al azhar. Setelah bergelut selama kurang lebih 8 bulan.

Hal itu merupakan kewajiban bagi setiap CAMABA Univrsitas Al-azhar. Bagi yang ingin menempu jenjang perkuliahan di Al-azhar, Markaz Lugah ini bagaikan perkuliahan kami. Walaupun bukan kategori jenjang pendidkan formal dalam Al-azhar. Tapi di sinilah awal mula langkah kami berjuang di Negeri Kinanah.

Kalian tau? Mungkin kalian beranggapan ini hanya membuang-buang waktu. Tahun dimana seharusnya kita sudah masuk kuliah tahun pertama. Eh, nyatanya malah masuk pendidikan kursus Bahasa. Itu anggapan kalian. Justru disinilah kami di tempa menjadi lebih baik lagi

Sejak 3 tahun belakangan ini Al-azhar mengeluarkan kebijakan bagi tiap MABA wafidin (NonArab) di wajibkan mengikuti kursus Bahasa Arab. Demi kelancaran kuliah nantinya. Jujur ini merupakan kesempatan besarku untuk mempermantap Bahasa Arabku yang memang di bawah rata-rata. Selain itu Markaz Lugah juga menjadi ajang bagi kami untuk saling berkenalan satu sama lain. Dengan teman-teman dari Negara lain. Coba seandainya lansung kuliah. Dapat di pastikan temannya ya itu-itu saja.(setidaknya ini pendapatku) di tempat itu pula. Kita bukan hanya belajar Bahasa Arab saja. Tapi juga selainnya. Seperti ustadz yang membawakan pelajaran kadang juga berbicara tentang Bumi Mesir ini. Mulai budayanya, provinsinya, system birokrasi, kejadian rab’ah,sejarah perang ‘ain jalut dan lain-lain. Dan yang lebih membuatku bersyukur masuk markaz lugah karena dalam satu qoah itu berbeda-beda juga penghuninya. Dalam pembelajaran kadang ustadz meminta kita untuk berbicara mengenai Negara kita masing-masing. Yang kemudian di tutup dengan dengan semacam ikrar. Bahwa kelak kalianlah generasi azhari yang akan pulang kembali ke Negara masing-masing menyebarkan Islam yang moderat.

15 Mei 2016 (recovery)

Imam Ramadhan Pertama Di Negri Kinanah

Kaget kepalang saya di buatnya. “benarkah??” tanyaku mendesak. “Iya, kau nanti yang imam di masjid itu.” Senang, takut, khawatir bercampur menjadi satu. Senang karena ini pengalaman yang berharga. Takut karena ini yang pertama. Dan khawatir karena takut salah dan mengimami orang-orang arab yang notabene mengerti bahasa Al quran.

Malam pertama bulan Ramadhan pun tiba. Nervous… ?? pastinya. Karena terlalu gugup akhirnya saya meminta syeikh Muhyi untuk imam solat isya untuk malam ini. Baru Tarwihnya saya. Jadwal kegiatannya pun berbeda. Di Indonesia ceramah dulu baru solat tarawih sampai selesai dilanjut solat witir. Disini tarawih 4 rakaat. Ceramah baru melanjutkan sisanya lengkap dengan witr. Anehnya kita dengar ceramah sambal minum tamar hindi dan kadang-kadang subyan. Tidak tau bahan bakunya darimana tapi enak.

Tiap malam harus setengah juz yang di habiskan. Belum lagi tadarrus. Tapi tetap semangat saja. amanah yag telah di berikan. Walaupun kadang menurun lagi. Tapi saya selalu ingin memberikan yang terbaik bagi Jamaah Mesir. Dan hanya mengharapkan imbalan dari Allah semata.
Terkadang saya agak canggung juga membaca ayat-ayat A-lquran yang mengandung sikap rasis dan sinkritisme dalam Al quran. Sementara saya seorang imam dari jamaah yang Arab tulen. Lahir di Negeri arab dan berbahasa Arab. Sudah pasti paham Bahasa al quran(setidaknya untuk Bahasa-bahasa yang mudah bagi mereka) karena mungkin saja ada Umat lain yang tinggal di sekeliling Masjid yang mendengarnya. Belum lagi ayat-ayat yang oleh media di gembor-gemborkan sebagai ayat-ayat penganjur gerakan terorisme.

Sedikit demi sedikit saya sudah mulai beradaptasi dengan cara-cara tata ibadah masyarakat Msir. Awalnya jelas di koment sana koment sini. Tapi Alhamdulillah sudah terbiasa.

Tidak terasa akhirya sudah sampai di penghujung Bulan Suci Ramadhan. Tidak seperti biasanya. Ramadhan kali ini seperti memberikan bekas tersendiri. Sedih rasanya melepas Bulan Suci Ramadhan. Padahal Ramadhan sebelumnya moment Hari Raya adalah moment yang selalu kunantikan. Yang membuatku membuang jauh-jauh rasa sedih. Entah mengapa. Ini bukan karena jauhku dari keluarga. Bagiku berhari Raya dengan atau tidak dengan keluarga adalah hal yang sudah sering kualami. Bukan juga karena indahnya berhari raya di Indonesia..

Suasana yang kontras akan kita hadapi di Negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia. Itu tidak terlepas dari proses masuknya Islam di Nusantara. Dulu para Ulama menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya yang menghasilkan akulturasi dengan kebudayaan setempat. Bagi Negara-Negara Arab Idul Fitri tidak di sambut terlalu meriah. Justru Idul Adha yang di sambut meriah. Tapi tulisanku tidak bisa menjadi tolak ukur kalian untuk menilai. Karena bisa jadi didaerah pelosok Mesir sana ada yang berbeda. Saya masih seumur jagung di Bumi Kinanah ini untuk memberi penilaian.

5 Agustus 2016 (recovery)

Menginjak 20 Tahun

Akhirnya usiaku sudah menginjak usia ke 20. Dimana aku sudah mulai menginjak usia kepala dua. Usia dimana seharusnya aku sudah mulai melakukan hal-hal besar. Kalian pasti mengenal Sultan Muhammad Al-Fatih. Diumurnya yang ke 21 dia sudah mampu menaklukkan konstantinopel.

Memang tidak sepantasnya saya di samakan dengannya. Tapi saya setidaknya ingin bercermin dari orang-orang hebat seperti dia. Entah itu bagaimana aku menjadi seorang yang bermanfaat bagi sesama. bagiamana nantinya aku menyambut sebuah kematian. Dan lain-lain. Mungkin bagi sebagian orang pemikiranku ini terlalu jauh. Namun menurutku hal ini sangat penting. Karena sesungguhnya 20 tahun  bukanlah usia muda lagi. Di usia 20 tahun ini gebrakan apa yang telah saya buat. Ada juga prestasi-prestasi hebat yang telah saya buat. Tapi setidaknya jangan dulu cepat berpuas hati. Selain itu juga usia ku berkurang dan 20 tahun sudah aku berjalan menuju kematianku.

Tiba-tiba benak ku bertanya apa saja yang kudapat selama ini yang sudah konkrit dan konsisten aku lakukan?  dan setelah lama berpikir dan mengingat-ingat aku masih ragu menyebutkan satupun hal yang sudah konkrit. Dikarenakan dosa-dosa hambanya yang hina ini dan semoga saja aku tak mati dalam keadaan su’ul khotimah. Tak lupa cita-citaku menguasai bahasa arab dan inggris. Menghapal alquran alhamdulillah sudah. Belajar hukum islam di universitas Al-azhar sedang di tempuh. Mendapatkan nilai mumtaz di ataupun jayyid jiddan. Terus tinggal di darul iftah sambil nulis tesis politik islam. Dan tidak lupa menikah. Sibuk belajar bukan berarti tidak meluangkan waktu untuk inikan. Apalagi ini masalah menyempurnakan separuh agama. Dan wanita yang kuimpikan sebenarnya sederhana. Dimana yang terpenting itu adalah kesamaan prinsip dalam masalah agama. Oh.. Iya. Mungkin ini ambisi terakhirku. Aku ingin mendirikan khilafah islamiyah di bumi ini. Untuk itulah saya ingin istri yang se-prinsip dalam masalah agama dengan saya. Dengan begitu ia bisa Membantuku juga.

11 Agustus 2017 (recovery)